Jumat, 29 Januari 2016

Merdeka Dalam Bercanda [Referensi Buku]



Tawa Merdeka Bagi Semua

Alternatif menikmati canda yang semakin populer dan menggaung di Indonesia ialah stand-up comedy. Di salah satu stasiun televisi nasional, ajang pencarian bakat stand-up comedian menjadi isu hangat yang henti dibahas. Tidak mengherankan bernapas panjang hingga tahun pelaksanaanya yang kelima dan berhasil menambah ragam bibit comic- sebutan bagi seorang pembawa komedi stand-up- di Indonesia. Salah satu sukses yang kentara bagaimana film “Comic 8” dengan sebagian besar talent merupakan stand-up comedian sukses di pasar nasional. Belum lagi jika melihat bagaimana seringnya stand-up comedy hadir di acara off air macam konser musik atau pentas seni lainya.

Hal yang penting dan perlu dicatat bahwa komedi hadir untuk membuat tertawa dan bahagia. Termasuk mengobati luka lama yang perlahan bisa disembuhkan karena hadirnya komedi. Sangat menarik bagaimana stand-up comedy tidak melulu tentang melucu. Tapi bagaimana komedi stand-up coba mengutarakan keresahan, mengamati kehidupan sosial lingkungan disekitar. Dan kemudian disajikan lewat canda yang menggugah selera tawa. Indonesia yang tahun ini akan merayakan tahun proklamasi 1945 yang ke-70 puluh kalinya. Masih disemuliti awan hitam akan sejarah bangsa yang kelam namun masih sangsi untuk diperbincangkan.

Amerika Serikat negara yang berhadapan amat lama dengan isu rasial antara si putih dan si hitam. Mencoba untuk bangkit dan menyembuhkan luka lewat peran komedi stand-up dan tentu para comic-nya. Tidak segan-segan membawanya kedalam komedi stand-up sehingga sadar bahwa kemerdekaan ialah milik semua, termasuk dalam canda dan tertawa. Kebebasan berekspresi dengan bertanggungjawab membawa arus positif bagi perubahan ke arah yang lebih baik.

Semisal di Amerika punya Chris Rock yang terkenal karena semangat perbaikan akan isu rasisme yang kental. Indonesia misal punya Ernest Prakasa dengan banyak bit tentang kehidupan etnis Tionghoa dan perlakuan yang diterima di Indonesia. Toh akhirnya semuanya tertawa, karena Warkop DKI pernah berpesan “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Ingat bahwa ketika itu di zaman orde baru yang represif, tayangan komedi dan kesenian lainya. Apabila menyinggung negara dengan tingkah para pejabatnya, pasti akan dilarang.

Senjata Ampuh di Indonesia

Sekilas cerita diatas dipaparkan apik oleh Pandji Pragiwaksono di Merdeka Dalam Bercanda. Cukup menguak akan pentingnya komedi dalam menguapkan luka yang benar-benar pernah terjadi. Namun sulit untuk diungkap ke permukaan karena problema ini-itu. Kebenaran yang menyakitkan itu dibawa oleh komedi canda dan jenaka sehingga harapanya agar permanen terhapus. Dan Indonesia dengan keberagaman masyarakatnya, terkait isu SARA yang masih abu-abu pantas untuk segera berbenah diri dan membuka pikiranya, lewat asyik-nya komedi.

Merdeka Dalam Bercanda menawarkan jurus-jurus ampuh lewat catatan dan pengamatan pribadi si penulis. Bagi kalian yang berminat untuk menjadi komika, buku ini layak dijadikan tesis penuh poin-poin praktis untuk dipraktekkan. Tidak lupa juga tentang “sejarah” stand-up comedy yang bukan apa-apa menjadi luar biasa di kunyah oleh masyarakat Indonesia. Kunci yang tidak henti disuguhkan oleh penulis ialah “mari perjuangkan” dan “susah, tapi pasti bisa”. Kerja keras akan menawarkan kesuksesan, dalam bidang apapun termasuk stand-up comedy di Indonesia lewat peran-peran orang disekelilingnya.


Akhirnya, sebuah kemerdekaan memanglah milik semua manusia di dunia. Termasuk kemerdekaan dalam bercanda dan tertawa lepas bahagia. Tan Malaka, sosok manusia Indonesia yang pernah lahir, dibuang dan dipenjarakan namun tetap mencintai bangsanya. Pun mengatakan bahwa kemerdekaan haruslah 100% bagi bangsa Indonesia. Tidak terjajah oleh siapapun dan perasaan apapun. Layaknya bernyanyi, komedi bisa hadir sebagai bentuk irama atas kegalauan, kegundahan dan kesedihan mendalam. Namun tetap pada porosnya untuk membuat tawa merdeka, tawa bagi sendiri dan orang lain. Atau seperti yang Pandji bilang, terkadang kita butuh tertawa agar tidak terus-menerus menangis. Semoga komedi bisa jadi senjata ampuh untuk melemparkan kritik di Indonesia. Aminn.

Buku      :Merdeka Dalam Bercanda
Penulis   :Pandji Pragiwaksono
Penerbit  :Bentang Media
Cetakan  :Kedua, Juni 2012

*Tulisan ini pernah di-posting oleh laman husbandrynews.com

Rabu, 27 Januari 2016

Ayahku seorang pencuri

Larut malam ia kembali
Dari pencarian harta duniawi
Rupa elegan berdasi
Parfum masih wangi
Bersanding kecup dan salam setia
Beraroma wanita malam penggoda

Ayahku seorang pencuri
Kami tinggal diatas tanah merah
Bekas darah perwira tanpa lencana
Abdi sejati negara

Ayahku seorang pencuri
Seringkali ditemuinya uang setumpuk di gudang
Dalam lindungan konglomerat besar
Sejatinya milik rakyat negeri

Ayahku seorang pencuri
Ia senyum kesana kemari
Tabik ia sering dapatkan
Oleh kurcaci peminta-minta kaya tanpa usaha

Lantas aku pergi
Meninggalkan ia
Meninggalkan mimpi busuk
Meninggalkan kekayaan yang bukan untukku
Bukan milikku
Menjauh
Lalu bersila, menyantap kejujuran semesta
Kejujuran yang abadi dalam senang ataupun duka
Bersama-sama, kami merdeka

-Sokaraja-
26 Januari 20


-----------

*Pict from flickr.com16

Kebisuan Seorang Pelacur

Desahku
Getirku
Malamku
Rokokku
Tubuhku
Bercampur dalam debu

Dinodai oleh bajingan
Diludahi mimpi-mimpi
Busuk dalam doa mereka
Busuk dalam mata manusia

Sejujurnya waktu belum membunuhku
Ruang juga sama
Hanya apapun aku berkata pada dunia
Membicarakan dunia dimana aku tinggal
Aku disetubuhi lagi
Aku diselimuti lagi
Kemudian ditinggal tanpa diberi kesempatan
Memiliki harapan

Kalau saja aku bisa
Aku ingin bisu melihat diriku yang sekarang
Aku ingin tuli
Aku ingin buta
Aku ingin dan aku ingin tak hidup melihat diriku yang ini

Tapi akhirnya aku mati
Oleh kawanku sendiri
Dari awal dinikahi permata dunia
Gelap matanya
Terbunuh kesetiaanya

Sokaraja
26 Januari 2016



*Gambar dari number1.com.vn 

Senin, 25 Januari 2016

Sinar Matamu Anakku

Pagi-pagi sekali,
adzan subuh belum usai.
Kau goncang Ibu lewat cium pipi
lewat untaian senyum merekah tak henti.

Kala subuh,
seperti saat ini
persis masih tertinggal di memori.
Aku teringat
kepergian mendiang kakekmu
lelaki tua penulis dunia
jujur berbalut tipis dosa.

Tak jemu
aku selalu dirayu
bergegas pergi dari mimpi.
Menjawab pagi
dan pergi menantang matahari.

Niat ku mempertemukan kalian sirna
Raganya telah membusuk bersama tanah
Tak sempat kau bisa baca
rendah hatinya.
Bagaimana ia laksana terik tanpa keringat,
hujan tanpa basah
sedih tanpa duka.

Setelah pulang kepada Tuhan,
kakekmu kini kembali hadir
kedalam sinar matamu.
Menyelami hati Ibu 
yang lama tak disentuh lelaki
sejak bapakmu lari.

Purwokerto
22 Januari 2016

Wajah Di Dinding Sore Ini

Terduduk di kursi kulit
Mengacak-acak kata untuk hidup
Mencuri detik untuk sekedar mampir
Ke waktu dimana foto pernah berdiri

Sambil merangkul teh hijau sore ini
Kuraba kembali wajah di dinding sore ini
Pandang ketusnya masih saja bertamu
Bertanya hey bagaimana kini kabarmu

Menambah harum kisah sore ini
Hujan ikut tampil menaruh wajahnya

Dihadap tamu berjas berdasi yang hadir
Kemeja batikmu tak kalah gagah
Lencana ternyata kau buang jauh
Itulah hari dimana engkau mulai menyihir

Jemari tangan tak lagi kaku
Kaki kuat menancap panggung
Bahagia tak kuasa dibendung
Ucapku kala itu, ialah benar ia suamiku

Ya masih kuingat jelas wajah itu
Meski kini waktunya tlah lampu berlalu

Masih di wajah dinding sore ini
Si kecil riang kau ayun perlahan
Kini kau harus tahu sayang 
Si kecil tlah berhasil menggapai surga

Di hujan sore ini yang pipih
Sudahkah kau bertemu malaikat putih ?
Harapku mereka dan kau istirahat sore ini
Menyantap kopi yang kau amat cintai 

Bagiku wajah di dinding sore ini
Bagiku kenangan tiada pernah terhenti

-Jakarta Raya-

Minggu, 24 Januari 2016

Cerpen : Tenggelam dalam Kubangan Kandang

Kota kecil –yang menurut ku- di tengah Jawa ini memang menyimpan pelbagai alur cerita. Bukan mitos-mitos murahan dan legenda asal jadi. Terselip juga skenario Tuhan yang acap kali membingungkan. Paling tidak begitulah yang nampak telanjang di satu pandang wilayah. Yang bisa saja lebih kejam dari kisah cinta dalam sinetron murahan-saban hari- ada di frekuensi publik.

                                                                        ****

Sembari menunggu Hariri merias diri. Terlihat dari pagar rumah kos, Mbah Sarti sibuk berkomat kamit kehadapan barang daganganya. Cucu nya yang belum berlumur dosa, Aminah tergendong kain batik lusuh bergelayut di dada Mbah Sarti yang tipis. Sesekali menyeka keringat cucunya yang terlelap. Mbah Sarti menawarkan barang dagangan berupa dua jantan ayam kampung siap potong. Tak jarang Kami membeli ayam dagangan Mbah Sarti, terakhir kami membeli tiga ekor untuk di bakar. Maksud niat untuk syukuran senior Kami yang mendapat gelar sarjana peternakan, dan bersiap menjadi pegawai administrasi bank terkemuka bulan depan.

Aslinya tidak ada kelas sore ini dan Kami pun bisa bersantai membaca jurnal peternakan terbaru atau menulis untuk diterbitkan di bulletin kampus . Bisa juga menikmati film bajakan terbaru seperti anak kost yang lain. Sayangnya hal tersebut tidak bisa dilakukan sore ini. Tidak lain adanya kelas sore ini karena dosen yang bersangkutan seenaknya merubah jadwal kuliah. Dan seperti biasanya, selalu mendadak dan berpihak pada arogansinya sendiri.

Di jalan menuju kampus, seperti biasa Kami berpapasan dengan mahasiswi kampus sebelah yang selalu bersolek gincu dan bedak. Tak jarang  juga, Kami bertemu dengan Mereka yang “berlebihan”-muka putih, leher legam-, berseliweran dengan motor matic buatan Jepang. Hari itu juga, ada yang mengibaskan pandang manis, ke arah Ku seorang –perempuan itu lagi-. Sontak badan ini heran untuk kesekian kalinya, tangan tergerak dan kemudian melambai  pandangan itu. Hingga hilang ditelan cepatnya gerak motor. Dan seingatku, ini papasan kami yang ke sepuluh kalinya. Bedanya, kali ini dia dibonceng oleh pria lain.

Seketika, Hariri yang berdampingan dengan Ku pun menajam pandang dengan kedua bola matanya. Lalu menepuk pundak dan berseloroh mengomentari ciptaan Tuhan yang indah itu.

“Hei, pasti Kau mikir gak bener nih. Tengok boncengan orang lain. Maka dari itu, cepat-cepat sana cari pacar, biar itu mata tidak melulu ngluarin air liur.”

“Tenang Har. Lima tahun dari sekarang. Aku akan  punya istri yang cantik. Tercantik di Indonesia dari yang pernah ada. Model bak terkena Anoreksia di peragaan busana itu bakal lewat.”

“Mau dikasih mas kawin sapi dan kerbau ?. Apa mau dikasih mas kawin ayam ?”, tergambar dari perangai Hariri yang menantang.

“Pastinya. Sapi dan kerbau bertahtakan emas dan permata. Kotoranya pun bisa mengeluarkan  koin rupiah. Ayam dengan kokok merdu dan berdaging berlian”, dengan sombong semangat ku ucapkan.

“Khayal !. Memang ada yang seperti itu di negeri ini ?”, bertanya lagi Hariri dengan tak percaya.

“Ada banyak Har. Sapi dan kerbau lokal kita aja lebih dari jari jumlah jari tangan ini. Itu baru sapi, belum ayam dan itik. Dengan sumber daya alam kita tidak terbantahkan lagi. Ditambah akademisi bertebaran di penjuru negeri. Hewan ternak pun bisa digubah menjadi perhiasan mewah.”

“Lalu bagaimana dengan nasihat bang Ginanjar ?”.

“Kunci nya tetap pada apa yang dibilang Bang Ginanjar. Berdaulat di negeri sendiri. Kalau kita gak pintar dan bisa membuat orang lain juga punya uang. Kita gak ada bedanya sama mereka yang gak berpendidikan. Bukankah Kita dikuliahkan dan dididik agar bisa berguna sebanyak-banyaknya ?”

“Benar Cil. Bang Siregar juga bilang begitu. Terus menurut mu apa daya yang membuat peternakan kita ini tidak maju ?”

“Bukanya tidak maju, tapi belum. Tugas mahasiswa peternakan yang harus memajukan. Dan kini juga sudah ada yang maju. Jikalau kata birokrat di televisi, industri perunggasan kita sudah maju.”

“Industri perunggasan ?. Tidak salah ucap Kamu Cil. Jelas kelihatan kalau kita saja masih mengandalkan pakan ternak yang berasal dari perusahaan luar negeri. Berawal dengan investasi, alih-alih untuk menggarap dan memajukan industri dalam negeri. Mereka berjaya di negeri orang lain, kita merana di tanah sendiri. Kalimat “pasar yang potensial” sebagai awalanya.”, dengan nada yang sedikit kesal Hariri berucap.

“Maka dari itu Har. Jangan sampai kita berdua yang kerap kali tertulis di brosur universitas di sebut “selamat datang harapan bangsa”. Bukan justru menjadi pecundang seperti yang tadi Kamu ucapkan.”, menghadap ke arah pandang Hariri dengan nada dakwah.

“Semoga saja.”, dengan raut wajah yang pesimistis. 

****

“Jikalau kalian dari awal tidak pernah mau masuk bidang ini. Kenapa kalian mau repot-repot datang ke ke kampus ini ! ”, kalimat pertama yang keluar dari mulut Bang Siregar sedetik setelah ia meninju muka Kami berdua..

“Lebih baik kalian keluar sekarang, daripada hanya ingin main-main, pacaran, lalu dapat ijazah peternakan tanpa mau mengerti sejumput pun ilmu yang sudah diberikan kepada kalian. Sia-sia saja orang tua kalian mencari nafkah agar kalian bisa kuliah seperti mereka yang lainya.”

Sembari Aku dan Hariri menelan kalimat Bang Siregar. Sesekali Aku mengamati senior Kami yang berdiri di depan pintu mengawasi hingga ke jarak pandang bak memiliki mata elang. Takut-takut akan ada dosen yang lewat. Dan Bang Siregar masih saja menasihati kami dengan logat Batak yang khas. Ia berperan sebagai jaksa penuntut dan hakim layaknya pengadilan koruptor yang seru dengan aliran dana ke wanita cantik. Dengan tiga penonton, yang satu senior kami berdiri di depan pintu. Sisanya adalah Kami yang menatap jijik perilaku Kami berdua yang takut membalas perlakuan Bang Siregar.

“Kalian pernah memikirkan tidak ?. Percaya pada ucapan Siregar. Dia yang setengah-setengah tidak akan berhasil. Lebih baik kalian menganggur dulu setahun, lalu ikut tes lagi sesuai dengan minat kalian. Toh itu kan yang kalian inginkan. Tidak berniat masuk peternakan”, penonton yang masih saja memandang jauh ke luar itu kini mengeluarkan suaranya. Belum lama ia berbicara, kini ia berbicara lagi :

“Tidak ada seseorang yang bisa sukses jikalau menyelam setengah-setengah. Apalagi kalian yang sudah mencibir ranah ini padahal diri kalian pun baru melongok dari atas perahu, dari permukaan. Ibaratkan, kalian kini sedang dalam tahap tenggelam dalam kubangan kandang. Bagi mereka yang tenang, tidak akan mati tenggelam. Justru kubangan itu sendiri yang akan menjadi ladang”, jelas Ia mengucapkan. Belakangan kami ketahui namanya adalah Ginanjar. Ketua Mahasiswa Peternakan se Indonesia

****

Sesampainya di kampus, Kami berdua singgah sejenak di beranda organisasi pers kampus. Mengeluarkan hasil tulisan Kami. Isinya tentang program pemerintah akan swasembada yang selalu pupus. Beberapa menit hasil tulisan Kami di baca. Kami langsung diberitahu bahwa tulisan Kami akan diterbitkan besok. Dengan segera, kami meninggalkan mahasiswi cantik itu tanpa tahu namanya.

Mendaki anak tangga yang menuju ke lantai tiga tempat kelas kami berada. Hariri menunjuk ke arah ruangan dimana Kami berdua pertama kali bertemu dengan dua mahasiswa senior yang kini menjadi saingan terberat untuk di salip. Tepat seminggu saat Kami pertama kali masuk Bang Siregar rumah sakit karena kecelakaan. Truk yang ia kendarai oleng lepas kendali ketika melewati jalan terjal. Untungnya ternak sapi yang ia bawa tidak mengalami cedera sehingga masih bisa dijual. Ia membangun usaha ternak sapi sedari SMA, semuanya dilakukan sendiri. Itu mungkin salah satu sebab kenapa Ia belum lulus ditahun ke limanya duduk dibangku kuliah. Karena baginya, bukan lulus  dengan waktu yang cepat, tapi lulus diwaktu yang tepat.

Sementara itu Bang Ginanjar yang lebih muda tiga tahun darinya, tetap semangat bersama para peternak kecil yang terus tergerus oleh praktek monopoli para pemodal besar. Karena baginya, berguna bagi orang lain adalah hal yang sebaik-baiknya.Ia tidak ingin saudara se tanah sekelahiran harus tunduk pada kepentingan asing. Ia kerap kali bertutur, lebih baik tenggelam dalam kubangan kandang, dari pada harus memakai dasi dengan mobil mewah namun saat berkaca yang tampil adalah wajah tikus. -Tamat-

                                                                                         oleh : Iqbal MMun Prawiro
---------
*Cerpen pernah diikutkan lomba antologi sastra "Jadi Mahasiswa Peternakan"



Mereka Sang Penambang

Kemeja putih celana abu-abu
Detik ini telah menjadi sandang lusuh
Berganti dengan jas kulit

Sebelumnya, telapak kaki hitam tegak tertancap
Mereka bukanlah parasit sejenis koruptor
Nada kesayangan Mereka sedetik lalu kokok
Karena, di warung makan ujung sudah menunggu
Ibarat menambang emas


Sementara itu sepasang mata
Meruncingkan pandang ke matahari yang gagah
Siapakah Mereka ?

Berkantor dan bersemayam di ruangan penuh kotor
Mereka memang bercinta dengan kotoran kandang
Tapi Mereka tidak menjadi pelacur dalam pandang
Bersolek lalu mempertontonkan isyarat bokong

Taman bermain Mereka semenit lalu ladang ilalang
Oksigen Mereka sehari lalu gas berbau
Wangi tubuh Mereka sebulan lalu keringat

Perut anak manusia yang menanti goreng dan bakar
Karena, di gedung sekolah, kantor bahkan penjara
Berjuta kepala penuh menanti asupan tetes bergizi

Keringat nanah, batuk darah sudah biasa
Ibarat menambang emas
Sulit, peluh, dan tangis di waktu ini
Akan bermekaran bunga sukses di masa depan
Berbuah dan berguna bagi sesama

-Purwokerto-

-----------------
*Pernah diikutkan dalam lomba antologi sastra "Jadi Mahasiswa Peternakan"

Sabtu, 23 Januari 2016

Kaus Kaki Hijau

Resah rindu menanti cerita
Dari dirimu yang sedang melintas raya
Oh mengapa ini bisa terjadi
Bahasa matematika kita tak cukup mewakili

Minta maafku untukmu selalu
Tubuh lugu milikmu harus ikut berjibaku
Berdesak padat bersama mereka
Sejak subuh hingga malam bercahaya

Bersama kaus kaki hijau
Buah tanganmu dari Wijahan bulan lalu
Masih setia menghangatkan ku di kursi ini
Sayang, andai ku bisa menggerak raga

Dirimu tiada usah pergi tiap waktu
Sekali-kali masih tersesal di dada
Membayang hari itu datang menyambar
Merobek putih hingga ke akar

Masih bersama kaus kaki hijau
Kutunggui kau tiap waktu hingga tiba
Tapi lain rupa hari ini
Separuh malam telah selesai bernyanyi

Belum nampak wajahmu di kaca
Apa mungkin kau bersama dia disana ?
Resah rindu merantai curiga
Apa mungkin kau merebahkan diri disana ?

Kaus kaki hijau tiba tiba menyengat
Kompak dengan itu ia menyindir
Mengapa bisa curiga itu kembali menguat ?
Apa kau hari ini terkena sihir ?

Terkaget aku dihadapnya
Bertanya kedalam rusuk yang rapuh
Ada apa dengan kaus kaki hijau ini ?
Pertama sekali ia muncul mengingatkan

Tak lama menit malam berselang
Dengan masih amat terheran
Si lugu muncul dari balik bayang
Hias wajahnya telah berubah abu-abu

Mendadak terbang malu curiga itu
Terimakasih kaus kaki hijau
Jelas engkau adalah pemberian ikhlas istriku
Kutunggu nasihatmu di malam lain waktu

-Jakarta Raya-

------

*Kepada para istri yang baik hati

Bersama Kucing #1




Lantai putih menyambut mesra

menyerahkan senyum tanpa aba-aba
menyegarkan
memelintir sepi ke sudut ruang

Ketika gembira mengetuk,
kucing diluar memanggilku
menawari makan sisa orang mapan
bekas tadi malam.




Aku mendelik
Ia memaksa
Yasudahlah, aku makan saja akhirnya
bersama-sama cahaya malam
gelap menenangkan

-Purwokerto-

----

*Kepada kucing-kucing jalanan

Jumat, 22 Januari 2016

Asal kau bahagia

Sayup sepoi di taman semalam
Tenggelam oleh gelapnya terang bulan
Disesaki panas mencengkeram
Andainya disini kau merasa sendirian

Malam ini ku tau kau bahagia
Denganya yang berdaya upaya

Malam ini ku tau kau bahagia
Telahnya pasti aku kau lupa

Hanya karena satu malam
Sirna punah seluruh harapan bersama
Asal kau bahagia sayang
Remuknya raga seolah berani membayar

Sekian lama tiada berpisah
Dialah yang kau pilih akhirnya
Daya ku tiada sanggup memenuhi
Segala rupa cita-cita dan ambisi

Asal kau bahagia
Terbanglah selamanya kau kesana
Asal kau bahagia
Ku terima kekalahan yang tiada dua

-Jakarta Raya-

Akankah Kau Lupa

Skripsi mu hampir aampai di titik akhir
Kutahu ini dari tetangga dekatmu
Sungguh tak perlu pandang heran begitu
Toh hanya satu rasa membuat khawatir

Akankah kau lupa
Malam dingin pesta kita berdua
Engkau halus putih tanpa merah di bibir
Tertawa lepas tanpa gusar di pikir

Akankah kau lupa
Sore hari berdua membuang pengap
Bunyi motor putih tanpa asap
Setia mengangkut raga kemanapun arahnya

Akankah kau lupa
Siang hari yang menemani sepi
Kugendong bahagia tiada kira
Hanya untukmu si manis pipi


Akankah kau lupa
Pagi hari yang tak berbunyi saat itu
Kau kirim rindu bersama doa
Hanya untukku si pujangga biru

Nanti ketika tiba kau di titik akhir
Akankah kau lupa tiap paragraf yang kita ukir ?
Harapku, semoga kenangan siap membantu
Harapku, untukmu
kuharap jadi kekasihku

-Purwokerto-
April 2015

Tanjung Karang

Kenangan kembali menganga
Haus harta tak lagi melanda
Kini hanya satu yang ku pinta
Tuhan bisa menyatukan tubuh bersama
Mengulang waktu yang lama tiada
Mengisi rusuk yang menunggu setia

Tanjung karang kini sepi tiada dua
Hilang bibir canda yang pernah akrab ada

Bagaimana kabarmu dengan dia
Tiada mungkin kau kembali tersedu
Itu yang selalu ku pinta untukmu
Tiada terulang kuharap darinya kepadamu
Seperti kisah lalu saat masih disisiku
Rupa biru yang berulang di tiap minggu

Semoga tanjung karang tidak lupa bagimu
Akan aku yang pernah di hatimu

-Jakarta Raya-

Pagi di awal september

Teriring rasa yang selalu ada
Harum september masih menunjuk rupa

Ketika itu berjalan beriringan
Senda gurau dikunyah berbarengan
Peluh hangat bercampur riuh
Demi sepotong mentari di atas sana

Selurus jalan terjal berliku
Bulu halus berteriak bersahutan
Istirahatkan kaki lemah itu
Sadarlah sampingmu menggerutu

Bersandar di bawah pepohonan
Sembari menyeret napas panjang
Merebah tubuh diatas sampah dedaunan
Jaket tebal biru rupanya tak kuat menahan
Dingin sepoi pegunungan




Waktu mengeluh tak tahan berlama-lama
Tersadar akan bunyinya
Bahu berseru seru
Saatnya bergegas melaju

Rangkaian tangga batu berlalu
Hembus angin menggelitik pelan
Menanda September yang mulai mekar
Bersama pagi teriring senyuman

Kuning mentari ikut hadir
Bagiku berkesan sayang tuk dilupakan
Tapi tak tahu untuknya
Kuharap jaket biru bisa mengingatkan

Kini bersama awal pagi september yang beda
Dirinya tetap hanya menjadi mimpi
Mimpi yang mungkin tak akan pernah kumiliki
Oh September, kapan kau akan kembali ?

-Jakarta Raya-

Selasa, 19 Januari 2016

Hanya Sanggup Menatap

Lantai kelas kotor bersaksi
Pagi itu di depan kabut putih
Mengenakan rok berjalan seorang diri
Kami tahu hatinya sedang ringkih

Kemarin berakhir sudah hubunganya
Ceritanya karena hidup berjauhan
Kata berbicara tak cukup mewakilkan
Sedih memang kondisi demikian

Namun ini yang sekian lama dinanti
Menanti hati kosong tiada terisi

Ternyata benar duga di angan
Banyak pangeran berdesak mengucur pesona

Sekuat jiwa patut dikerahkan
Seluruh daya mesti bertenaga
Sejuta cara purna diselesaikan
Tiada patut berhenti tetap berusaha

Belum jua beranjak dari kursinya
Masih bahagia dengan kesendirianya
Berjuta kali otak diputar karenanya
Putri anggun harapan hari dewasa

Momentun waktu tak boleh diabaikan
Hingga bisa tak sekedar hanya menatap

Laksana hujan di terik panas siang
Wajahnya segar tak luput dipandang

-Jakarta Raya-


---

*Untuk para pengagum rahasia.

Bintang Tayang dan Pria Berpena

Berhias Emas di pucuk kepala
Menjuntai anggun sang rambut hitam
Melenggok halus di rel merah padam
Bolehkah aku singgah bertanya

Bagaimana kisahmu malam ini
Dunia tak sabar mengunyah gigi
Sudah sekian lama kau tak bercerita
Ada apa gerangan lidahku bertanya

Tapi satu yang kutahu sedari dulu
Gestur itu tak pernah angkuh
Apakah mengimpimu menjadi dosa bagiku
Pria berpena tiada tahta bagimu

Khayalku mengatakan
Tak usah ku mengimaji kau si bintang tayang
Tampil elegan menembus hati semua orang
Hanya pantas di sisi raja tampan



Ya tapi cinta berhak dimiliki siapa saja
Karena ia harta bagi seisi dunia
Tak terkecuali bagiku
Pria berpena yang tak kenal rasa malu

-Jakarta Raya-


---
*Ada yang pernah merasa demikian ?. Hehe

Ia dan Pria Singa

Di sebelah pria singa berkacamata
Rambutnya tergelung manis
Bersepatu kulit biru tua
Duduk melipat kaki yang jenjang

Hari ini engkau sumpah berbeda
Warna kukumu hitam mutiara
Putih pundakmu lebih bercahaya
Duh tenggelamku dalam kesilauanya

Di warung kelas atas yang pengap
Bertaburan mereka yang juga mirip
Tapi entah ada makna apa
Hadirmu menjadi mahkota tiada dua

Masih kuingat di Januari yang lalu
Hari biru cerah berubah menjadi kelabu
Karena engkau ada di trotoar berdebu
Termenung sepi berpandang abu-abu



Tapi apalah daya
Rasa ku tak jua berani menyapa
Bukan karena suatu apa
Ini soal diriku yang minim benda

Berbeda kini bagiku untukmu
Siang di Oktober menjadi penanda
Bersiap jasmani dan rasa tuk bertegur sapa
Namun sayang engkau tlah berdua

Sedih kutepis dengan banyak daya
Bahagiamu semoga awet sentosa
Tapi mengapa dan bagaimana bisa
Tanya ku untuk ia si pria singa ?

Sayang sungguh dia itu binatang
Yang amat tak pantas untuk kau pandang

-Jakarta Raya-

Sepotong Tanah Ramai

Kerlip siang dan sore selalu ramai
Berjejer bocah menarik jangkar
Bertarung sengit si jago kekar
Kuncup alang alang enggan memudar

**

Nampak di ujung tepi tanah dewa
Berirama tumpah para gladiator bola
Rupanya tak lama lagi ronde pertama

Menyerbu menguasai lapang
Menjuntai kata penuh lantang
Tak ubahnya senapan rudal
Mencacah habis para bocah jangkar

Menolak mentah rombongan diusik
Kawanan bocah jangkar rapat paripurna
Satu dua tiga kompak menyerang balik



Tanah berlanjut semakin ramai
Ikut tumpah gerombol paruh baya menengahi
Inilah babak drama sungguhnya teman
Perseteruan riuh bibit-bibit jagoan

**

Saling gosong saling potong
Tiada waktu untuk menyerah kalah
Hanya bumi yang sanggup melerai
Teruslah ramai lalu mari kita berdamai

-Jakarta Raya-

*Puisi pernah di-publish oleh laman web husbandrynews.com

Cucu Raksasa

Tetangga selatan datang
Seperti biasa Ia menantang
Hari sudah siang
Seperti biasa raksasa masih pincang

Tidak lama lagi
Tetangga utara, timur, barat
Berdada tebal dan besar
Siap menyusui si raksasa pincang

Raksasa pincang belum juga sadar
Cucunya telah tenggelam
Ia berteriak membelalak mata
Kerabat jauh beranjak dari tidurnya

Lewat dinding retak
Kerabat jauh meruncingkan pupil
Semut hitam tak kalah sigap
Ia pun ikut mengibaskan pandang ke cucu raksasa



Buaya sungai telah membenteng di muara
Cucu raksasa masih bersuara lantang
Sayang satu hal yang tidak bisa Ia lakukan
Mengambang dan berenang ke tepi

Si Ikan sungai berteriak
"Percuma saja sahaya
berulang ulang sugesti
tidak mempan menembus pikiranya"

Cucu raksasa tak henti bersuara
Berkokok, melolong, mengaum
Ikan sungai tak kuasa sanggup menahan
Gelombang air terlalu berat

Dedaunan sedih bertitik air mata
Mereka ikut berguguran
Walaupun hutan tak mengijinkan
Dedaunan tetap pergi melayang ke arah cucu

Di istana megah berlian
Raksasa pincang sedang asyik bermain dada
Jangankan peduli akan cucu nya
Mengingat nama aslinya saja segan

-Jakarta Raya-

*Kata-kata yang muncul seketika terlintas, setelah sekedarnya nonton film "raksasa-raksasaan" di salah satu televisi nasional. hehe



Mengungkit Penyakit

Laksana penyakit
Kerasnya menubruk kuat tubuh
Menikam para pembuluh
Kenikmatan pribadi lumpuh
Membakar semangat untuk kembali tumbuh
Jangankan sembuh
Harapan tinggi untuk segera dibunuh

Laksana penyakit
Hadirnya selalu menggigit
Seluruh keserakahan menguap
Tidak berbekas
Kesedihan meraung perih
Sebab hadirnya tak jemu memberi sakit

Karena itulah ikhlas dilupakan
Relung hati setia mengetuk mengungkit
Tapi kadang waktu enggan membaik




Alangkah beruntungnya sahabat
Ia tak segan kembali menjabat
Mereka yang selalu mengungkit
Agar selalu tumbuh membukit


Cilacap
20 Agustus 2015

Rambut Merah di Minggu Pagi

Mendekap dingin minggu pagi kini
Mengayun diri kembali pergi

Di rantau tengah jawa
Belajar berdiri tanpa sanggahan kata

Ketika saatnya mengantri hari
Gemuruh hebat menyambar tepi
Bukan ini yang hendak di cari
Karena sepi masih lelap menemani
**

Di pinggir ricuh hebat pagi ini
Sosok elok indah berdiri
Rambutnya merah laiknya segar darah
Menakluk dunia menjadi pasrah

Tiada kawan di dekat sisi nyatanya
Karena si kusir pergi tanpa bertanya apa-apa



Darimana kira asalnya sang putri
Mana mungkin anak raja dari sini

**

Kilaunya mengganti matahari pagi ini
Lekaslah mari masuk kemari
Tiada sabar judi pagi ingin tertambat
Sial ada si muda bodoh yang memperlambat

Imaji mengoyak dalamnya diri
Pikir nyata mengunyah pahitnya duri
Bisakah kursi kereta pagi ini
Mengizinkan kita berdua bersama pergi


-Jakarta Raya-

*Puisi pernah di-publish oleh laman web husbandrynews.com

**Terinspirasi oleh perempuan cantik dalam kerumunan orang-orang berdesakan

Sajak Tiga Pagi

Terbangunya lelap kepada pagi
Bangkitnya harap hari nanti
Kita kuasa atas diri, bangkit berdiri
Menyanding lantunan nina bobo pukul tiga pagi

Bunga tidur masih bersisa

sedikit gembira, sedikit kecewa
Nampaknya,
semesta mimpi akan mengabarkan sesuatu
mengubur yang lalu-lalu
memupuk yang baru-baru.

Sebelum akhirnya terlambat,

dekap jemari menyeka rapat-rapat.
Lekas langkah berlalu cepat,
tepat ke tempat meski pikir belum purna penat.

Tergeletak kita pada keheningan angin pagi,

dingin bagai kesendirian manusia yang sepi
Oh iya, aku baru sadar diri
hujan desember masih mau memijat halus
sendi-sendi
sedari malam tadi
saat kami dihinggapi sendiri.

Kala menunggu yang datang tiap pagi,

aku terenyuh, selanjutnya hati tersedak.
Atas harum pengharapan sepertiga malam,
masih tersisa getir murninya kehidupan
Selepas tiga pagi,
kutemui mereka keluar menjemput panggilan Ilahi.

Purwokerto

6 Desember 2015