Minggu, 06 Maret 2016

Menulis rupa dunia

Pasar-pasar bersama
Kantor-kantor kotor
Sekolah-sekolah bocor
Kelas-kelas bertanya 
Siapa mereka
Siapa kita 

Lalu alam membawakan hidangan
kegembiraan bersoda kepedihan
senyum bertangkai duka
cinta berselimut noda
doa berlapis semena-mena

Bulan malam ini bersolek rupa
memantulkan cahaya dinding penjara
Bayang-bayang penyesalan tergambar jelas
berkawan durjana dan amarah

Salahkah aku menulis mereka ?.
Menulis yang nyata ada dihadapan,
tapi enggan di perhatikan ?.
Rupa dunia kita tak hanya rindu dan cemas akan cinta dua manusia.

Disana
mereka kelaparan
mereka berperang
mereka saling bertengkar
mereka pun sama merindukan cinta
percaya akan terlewati
percaya kuasa Tuhan akan ada batasnya
soal kesulitan dan kepedihan.

Sedangkan kita ?.
Tak peduli pada mereka,
tak peduli pada Tuhan.

Sokaraja 
26 Januari 2016

---------------------------------

Semoga puisi ini bisa memberikan arti.
Maturnuwun..

*Gambar dari vk.com 

Gelap



Riak-riak cahaya tak percaya
berucap cinta tapi binasa
bukan karena diri sendiri
karena mata tanpa kata
dibiarkanya cerita-cerita menusuknya
lalu menusukku.


Awalnya ku tak peduli
tak ku percayai amarah dan duka.

Lantas setelah menempuh banyak dengki berbalut luka,

aku merasa kasihan kepada masa depanmu
mau bersentuhan rasa denganku
lelaki gelap dan batu.

Aku,
selalu saja begitu
berteman gelap tanpa boleh mengenal warna baru
barang sebentar bersamaku
saat bersama dirimu.

Purwokerto
22 Januari 2016

---------------------
Semoga puisi ini bisa memberikan arti
Maturnuwunn....


*Gambar dari earmilk.com

Jenuh Membunuh

Telah disadari waktu akan segera pergi
segera menghantam hati
menawan diri
memberikan dunia penuh caci
menawarkan rasa iri
yang akhirnya
membunuh kejantanan diri.

Jenuh ini membunuh
rasa percayaku
rasa mudaku
bahkan rasa cintaku
terhadap dunia diluar sana
dan bodohnya kepada bapak-ibuku juga.

Ditikamnya diriku
terbelenggu kenyamanan tanpa makna
tanpa mampu menancapkan kata.

Januh ini,
ialah kenyamanan itu.
Dibuainya banyak anak muda sepertiku
lalu pergi menemui malam.
Setelahnya tak berani berhadapan
oleh pagi yang begitu dalam.



 

Purwokerto,
23 Januari 2016

--------------------
Maturnuwunn
Semoga puisi ini bisa memberikan arti

*Gambar dari www.nubar.com

Manisnya Sore Itu

Keluar dari kelas penjara
Kembali saling merangkul mimpi
Mengombak bersama kawan seragam
Bergegas ke halte titik temu

Menyeruput kopi warung temaram
Asap rokok terus membumbung
Beruntung cahaya sore bersahabat
Tiada hujan deras membantai

Cericau sahabat hitam dimulai
Begini begitu raut kisah bercerita
Dari lucu hingga warna kelabu
Menambah lukisan sore yang hangat

Kata masih pada tempatnya
Hingga detik itu muncul
Mendadak lingkaran pecah terurai
Seragam ke satu sudut pandang

Lagu lama rupanya
Persis seperti kemari hari
Menggendong tas bercarik cantik
Berdiri anggun dengan rambut hitam

Berbeda dengan putri raja lainya
Ia terlihat tak pernah ragu
Berbarengan berjibaku
Di bis sekolah yang telah lusuh

Meski begitu kawan
Wajah manisnya tidak terhapus
Senyumnya renyah tak angkuh
Menombak kami yang kosong

Tak peduli detik sore
Kami mematung kompak
Namun teramat sayang
Hakim jalan amat cepat menunjuk

Rupa manis harus pergi
Tak ubahnya seperti sore ini
Harus segera berganti malam
Namun tiada sedih harus tenggelam

Kami harap cerita kan terulang
Tiap sore kini kami menunggu
Manisnya sore kami kembali datang
Duduk bersama kami yang buntu

 

-Jakarta Raya- 


*Gambar dari flickr.com

Gila Jelita

Ia muda
berkacamata dengan lesung pipit mempesona
mungil layaknya boneka
halus bahasanya
santun dalam berkata pada siapa saja.

Tak berlebihan kami berlima panggil ia jelita
diantara kami aku yang paling gila
bukan sekedar basa-basi tanpa makna
hati jujur merasa karena ia nyata manusia
bukan malaikat elok rupa tanpa dosa.

Muda, beda, jelita
rajutan kain memintal anggun pesonanya
membalut kesucianya.

Aku menatap, engkau pun juga
mata ini tak ada maksud hendak menipu
mati rasa, sejak kau tatap balik padaku
ingin segera diriku
mengabadikan cintaku padamu
maka jelita
kemana engkau labuhkan kehidupanmu nanti ?

 

Purwokerto
20 Januari 2016

--------------------

*Gambar dari www.pinterest.com

Senyuman Malam

Hiasi merdu malam, senyuman itu tiba
Bersandar di angin redup, senyuman itu tiba
Sewaktu itu, raga tiada memang di sisi
Sewaktu itu, hadir tak bisa menemani

Di tepi beranda,
Terduduk mematung malam
Engkau terdiam
Membisu malam kesekian kalinya

Satu hal terlupa, tak ubahnya bayang
Rasa ini tiada kan berubah, berdua tetap bersama
Senyuman malam itu
Seolah bekal tamasya
Kugendong erat
Kuikat kain sutra

Tapi berbeda kini, senyuman malam itu tiada lagi
Senyuman malam itu telah pergi
Tiada kembali

......

Kaget ku di suatu waktu
Di malam yang buntu
Satu senyum menepuk kembali
Bahagia untukku entah dirinya

Pagar halaman menatap, dedaunan kuning bersiul
Debu lantai melotot, saling menatap terheran.
Sejak malam buntu.
Aku tahu
bersama senyum yang kembali
kebahagiaan terpancar
berganti senyum untuk ku.

Si senyuman malam
menunjukan senyumannya kembali.
Jelas bahagia untuk mu selalu
selamat jalan bagiku, selamat tinggal
Peluk bahagia, untukmu
Harap ku,
duhai engkau senyuman malam



 

Sokaraja, 
6 Desember 2015

*Gambar dari horoscopes.lovetoknow.com

Jumat, 04 Maret 2016

Meninggalkan Tidur



Tidur telah menenggelamkan mimpiku
Kehidupan dan aroma perjuangan
Pagi hari ini tak memberi restu
Ia kecewa karena malam memabukkan

Bila tak ada debu menghampiri
Bisa saja aku mati hari ini
Dalam sepi
Dalam kelesuan diri

Debu ini berbau keringat pekerja
Di jalanan
Di perkantoran
Di tanah tanpa tuan
Ramai-ramai mencari penghidupan 
atas karunia Tuhan.

Dalam doa mereka
Aku mendengarkan
Jelas dan ikhlas
Mengharap berkah semesta 
memberi anak mereka waktu tamasya.
Seperti anak-anak orang kaya
Berkecukupan materi raga

Aku meninggalkan tidur
Meninggalkan kasur
Menemui mereka
Membantu mimpinya, wujudkan bahagia

Sokaraja
26 Januari 2016

--------------------
Semoga puisi ini bisa memberikan arti

*Pict from travel.detik.com 

Kepada Matahari Aku Bersaksi




Pasir dan debu berjejeran
Berteriak tak karuan
Menyambut hujan
Berharap kedamaian

Matahari segera tenggelam
Ditelan awan mendung 

Cakap-cakap manusia
Berirama berpidato kepada alam :
"Panas segera lenyap.
Jendela terik akan tertutup.
Gerah pergi dari sini."

Matahari,
maafkan cericau kosong mereka.
Aku pun juga manusia
salah diriku tak mampu gandeng mereka
Diantara rupa-rupa cara yang ada,
segelintir saja laksana.
Lainya pudar dalam pikiran
tetesan noda pun hilang tak bersisa.

Aku bersama kawan-kawan senada,
sulit benahi ini.
Gelombang keluhan muncul tak karuan.
Sementara proyek reklamasi, deforestasi, 
industri tak ramah masa depan terus gerogoti bumi.

Sesal merajam hati
Mengapa bisa begini ??
Kepada matahari aku bersaksi
Kepada bumi aku menangisi diri

Sokaraja
29 Januari 2016

--------------------------
Semoga Puisi Ini Bisa Memberikan Arti

*Pict by kompas.com

Hancurkan Lalu Tanam

Kepada sesak dunia
Langit kelabu
Laut hitam
Hutan terbakar
Tanah kering
Manusia bebal tak peduli lingkungan

Wahai semesta manusia
Nuranimu masihkah ada ?
Belum cukupkah uangmu disaku ?
Sampai kapan ?
Sampai kau renggut segala yang ada
baru kau puas lantas tertawa diatasnya ?

Kau kuasai roda politik
tapi lupa limbah-limbah manusia bergelimpangan.
Kau pegang janji-janji ekonomi
tapi lupa kelaparan menganga lebar.
Sampai kapan ?.
Sampai mereka semua mati kemudian kau berdiri diatas mayatnya ?.

Lihatlah keluar
Lihatlah tempat dimana kau jauh tinggal

Bumi menangis
Meratapi manusia terbelenggu kepentingan golonganya, rasnya, sukunya, agamanya.
Bumi tak henti-hentinya terluka,
jikalau begini tak lekas berhenti.

Masadepan pun tak akan hidup lagi
Benih yang berguguran tak tumbuh lagi
Hanya satu jalan dapat dilewati
Segera hancurkan pikiran rakus dari hati

Kemudian bersama menyemai doa 
tanam kesederhanaan diri
kehidupan selaras bumi
selaras alam

Sokaraja
29 Januari 2016
--------------------------
Semoga Puisi Ini Bisa Memberikan Arti

*Pict from ngulik.co

Rabu, 02 Maret 2016

Sajak Ranu



 
Aku akan menjadi biru dan hijau
Membias dalam detik
Membayang disela-sela waktu
Menuju kerinduanku padamu Tuhanku


Lumut sampai rumput menyambutku
Berkemahkan sejuk cinta kasih
Hawa perbukitan begitu menyentuh
Kening kami satu-satu dikecup kabut
Memadamkan api dengki






Kemah berdiri diatas bumi ;
Suka cita menyembul
Hening malam menyatukan jiwa
Aku dan sekeliling raya
Menjadi keluarga
Dibawah cakrawala

Ranu Kumbolo
Rumah para bidadari dan malaikat bersuci
Ranu kumbolo
Rumah para pengembara rasa surgawi
Ranu kumbolo
Tetaplah jadi dirimu sendiri
Kami akan selalu disini
Kalian, jagalah rumah ini






 
Februari 2016
----------------
*Terinspirasi dari foto unggahan di media sosial Instagram

Semoga Puisi Ini Bisa Memberikan Arti
Maturnuwunn

Patung


Apa bisa diriku menjelma jadi manusia lalu bercinta. Merebahkan diri selepas terik mengucurkan keringat di kulit ?.

Telah kulihat begitu saja darah tumpah pada bumi. Pijakanku selama ini beratus-ratus hari. Tempat aku dan kau mencari hidup. Beribu tanaman lalu kau makan dan sisanya kau buang  dan sirna di tengah lautan.

 

Dibawah lintang khatulistiwa aku bertapa menggelengkan kepala. Betapa sedih manusia digempur kemauan harta. Dunia dan segala isinya belumkah puas adanya.

Negeri satu hancur. Dihujani mesiu abu-abu lalu ledakan emosi tak terkendali. Nafsu binatang berada diatas kepala. Menelan hati tempat suci.

Untung bagi takdirku adalah patung. Objek penampakan tanpa nyawa dan diam membuatku perkasa oleh cuaca. Bahagia tak kurasa. Amarah tak ku landa.

Bila saja aku jadi manusia. Apa daya tanggungjawab bisa ku suguhkan. 

Pada anak dan cucuku kelak.

Patung tak beristri dan beranak. Ia hanya sebuah replika dari zaman berharap Tuhan. Hingga Tuhan kini kembali ditiadakan dalam zaman. Oh..., zaman edan...

Sokaraja
Februari 2016

--------------------
Semoga Prosa Ini Bisa Memberikan Arti
Maturnuwun....

Selintas Saja


Selintas saja senyuman mampir dipinggiran malam. Ia sederhana mempesona. Kata tak lagi berguna membingkainya. Kamera manapun silau menangkapnya

Selintas saja senyumas hinggap di sisi. Kepada telinga, pelan pelan ia membisikan. Melantunkan nyanyian alam. Bunga menyembul dimana-mana. Kelopak mekar berwarna.

Selintas saja senyuman di pangkuanku. Menguap, lantas membaringkan kepalanya. Rambutnya hitam melego nafsu duniawi. Terlepas ruh mengikuti sulurnya. Jauh menuruni tangga berliku menuruni sejuk kalbu.

Selintas saja denting jam bersahutan tanda malam sampai pada titiknya. Ia pergi menggandeng senyuman terbang melewati jendela. Menutup tirai, beriringan kembali ke peraduan mimpi kekasih hati.

Hanya remah senyuman yang bisa dikunyah. Menjadi bekal menikmati sepi pagi nanti. Aku dan sendiri. Saling setia menyelimuti.

Februari 2016

-----------------
Semoga Prosa Ini Bisa Memberikan Arti
Maturnuwunn

Aku akan pergi



 

Sekian tempat punya cerita
berbeda
mendunia
lewat bahasa dan alam juga kisah didalamnya.



 

Dari yang banyak itu
aku memilih satu
kan aku gendong ia yang tersayang
bersama kembang-kembang tanpa kumbang.

 

Istanbul,
terbayang-bayang dalam pengharapan.
Meski kini sebatas memandang dari mimpi.
Aku akan pergi, aku tak akan ingkari.



 

Purwokerto
19 Januari 2016

------------------
*Buat kalian yang mungkin juga punya cita-cita pergi ke Istanbul atau Turki.
Bersama yang terkasih, selamat mewujudkan.

Semoga puisi ini bisa memberikan arti
Maturnuwunn....