Minggu, 26 Juni 2016
Menyemai potongan kata
Selama kurang lebih 23 tahun hidup saya, aktivitas membaca buku menjadi pilihan kesekian dalam mengisi keseharian. Apalagi, aktivitas membaca bagi anak muda abad-21 yang hacep, sudah jadi agenda purba dan bukan kekinian. Beruntung, aroma-aroma sedap dari membaca kembali datang, mengusik telinga dan menjewer pikiran saya dalam beberapa tahun terakhir. Sekedar hobi membaca manga karena ia bergambar, pada awalnya. Entah bagaimana, merajut potongan-potongan ruang dan bentuk imaginer produksi pikiran saya. Lalu membulat dan tersusun menjadi rumah-rumah kecil dengan pertanyaanya masing-masing.
.
Rasa ingin tahu sisi lain dari lainya dan lainya lagi dan lainya lainya lagi. Aroma rasa ingin tahu itu timbul tenggelam, meskipun jauh sebelumnya sudah ada jawabnya ; bacalah. Kenikmatan membaca, tumpah dari kata-kata, membanjiri kekosongan gang-gang sempit di seputaran pemikiran saya dan berulang-ulang seperti itu seterusnya. Untuk kemudian diteruskan lewat penuturan, keyakinan, dan perbuatan dengan tentunya tubrukan-tumbukan-penghancuran apa yang orang bilang dengan "kehendak untuk benar" sendiri. Dan ikhtiar itu, seharusnya-semestinya-selayaknya tidak pernah berhenti dan membuat puas diri.
.
Apa yang saya rasa-pikiran pun ikut andil tentunya-semoga bisa mengisi kekosongan gang-gang sempit kita, saya dan kawan-kawan sekalian. Agar bersedia, dilewati oleh kaki-kaki yang lebih banyak lagi, bukan hanya kaki kita. Untuk itu, dimulai dari malam ini, untuk sekedarnya saja mengutip potongan-potongan kata dari buku yang saya baca. Baik karya fiksi maupun non-fiksi, sehingga kata itu tidak mati, tersemai di ladang-ladang yang lain, tumbuh di gang-gang yang sempit. Setelahnya, kembali disemai oleh yang lain, dan terus berulang.
.
Semoga apa yang disemai, dapat dipetik tidak hanya oleh diri sendiri, tetapi juga tetangga-tetangga lain di sebelah rumah, di sebelahnya lagi dan disebelah sebelah sebelahnya lagi. Semesta berbicara, lalu bertindak kembali untuk semesta. Aminn
.
.
Salam.
Sokaraja Juni 2016
.
Rasa ingin tahu sisi lain dari lainya dan lainya lagi dan lainya lainya lagi. Aroma rasa ingin tahu itu timbul tenggelam, meskipun jauh sebelumnya sudah ada jawabnya ; bacalah. Kenikmatan membaca, tumpah dari kata-kata, membanjiri kekosongan gang-gang sempit di seputaran pemikiran saya dan berulang-ulang seperti itu seterusnya. Untuk kemudian diteruskan lewat penuturan, keyakinan, dan perbuatan dengan tentunya tubrukan-tumbukan-penghancuran apa yang orang bilang dengan "kehendak untuk benar" sendiri. Dan ikhtiar itu, seharusnya-semestinya-selayaknya tidak pernah berhenti dan membuat puas diri.
.
Apa yang saya rasa-pikiran pun ikut andil tentunya-semoga bisa mengisi kekosongan gang-gang sempit kita, saya dan kawan-kawan sekalian. Agar bersedia, dilewati oleh kaki-kaki yang lebih banyak lagi, bukan hanya kaki kita. Untuk itu, dimulai dari malam ini, untuk sekedarnya saja mengutip potongan-potongan kata dari buku yang saya baca. Baik karya fiksi maupun non-fiksi, sehingga kata itu tidak mati, tersemai di ladang-ladang yang lain, tumbuh di gang-gang yang sempit. Setelahnya, kembali disemai oleh yang lain, dan terus berulang.
.
Semoga apa yang disemai, dapat dipetik tidak hanya oleh diri sendiri, tetapi juga tetangga-tetangga lain di sebelah rumah, di sebelahnya lagi dan disebelah sebelah sebelahnya lagi. Semesta berbicara, lalu bertindak kembali untuk semesta. Aminn
.
.
Salam.
Sokaraja Juni 2016
Kamis, 16 Juni 2016
MENGULAS BUKU - Bukan Pasar Malam - Pramoedya Ananta Toer
.
Judul Buku : Bukan Pasar Malam
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
.
“Dulu kita selalu
senang saja, karena, karena waktu itu kita masih kecil-kecil. Dan kini, Adikku,
kini terasa betul oleh kita, pahit sungguh hidup di dunia ini, bila kita selalu
ingat pada kejahatan orang lain. Tapi untuk kita sendiri, Adikku, bukankah kita
tidak perlu menjahati orang lain ?” [hal 62]
.
Roman Pramoedya
Ananta Toer-Pram-yang satu ini pertama kali terbit jauh dari umur kita-kita
sekarang, tahun 1954. Berlatarbelakang cerita masa revolusi Indonesia seperti
halnya bisa kita lihat pada karya Pram lainya. Alur cerita sederhana Pram suguhkan, dengan
sedikit “meninggalkan” gaya realisme seorang Pram. Meski begitu, tetaplah
mempesona ; sarat makna religuitas ; hasil refleksi diri si tokoh “aku”. Dan
para tokoh lainya, diselimuti lika-liku kehidupan masyarakat Indonesia di awal
kemerdekaan.
.
Tokoh “aku”,
berpulang ke tanah kelahiranya, sebuah desa di Blora-tempat Pram juga
lahir-menjenguk ayahnya. Tokoh ayah, telah dekat dengan kematian karena sakit
yang ia derita. Seorang nasionalis sejati, seorang guru yang
meski harus merelakan dirinya bekerja pada Belanda. Tetap setia pada cita-cita
kemerdekaan Republik, dengan segala konsekuensi yang ada. Dan “aku”, pemuda
yang hidupnya juga berliku, turut serta dalam pasukan Indonesia mempertahankan
kemerdekaan dari Belanda, merasai betul apa yang ayahnya rasakan.
.
Kisah yang dituangkan,
asumsi saya, apa yang ditulis dalam Bukan
Pasar Malam. Sedikit banyak adalah kisah hidup seorang Pram dalam kehidupan
nyata. Seperti beliau pernah sampaikan pada sesi wawancara dengan Kness Snoek
[terbitan Komunitas Bambu]. Bahwa ayahnya adalah seorang guru HIS-sekolah
Belanda-, kemudian beralih menjadi guru
sekolah pergerakan Budi Utomo dan juga seorang pemimpin Partai Nasional
Indonesia.
.
Dan Pram sendiri, juga pernah terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan
dari aksi polisionil Belanda. Beruntunglah kita, hingga hari ini beberapa karya
Pram bisa kita baca, karena tidak sedikit juga telah dirampas, baik oleh
Belanda maupun rezim Orde Baru. Selamat membaca karya sastrawan besar
Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
.
.
Mari membaca, selamat membaca !
Langganan:
Postingan (Atom)