Minggu, 24 Januari 2016

Cerpen : Tenggelam dalam Kubangan Kandang

Kota kecil –yang menurut ku- di tengah Jawa ini memang menyimpan pelbagai alur cerita. Bukan mitos-mitos murahan dan legenda asal jadi. Terselip juga skenario Tuhan yang acap kali membingungkan. Paling tidak begitulah yang nampak telanjang di satu pandang wilayah. Yang bisa saja lebih kejam dari kisah cinta dalam sinetron murahan-saban hari- ada di frekuensi publik.

                                                                        ****

Sembari menunggu Hariri merias diri. Terlihat dari pagar rumah kos, Mbah Sarti sibuk berkomat kamit kehadapan barang daganganya. Cucu nya yang belum berlumur dosa, Aminah tergendong kain batik lusuh bergelayut di dada Mbah Sarti yang tipis. Sesekali menyeka keringat cucunya yang terlelap. Mbah Sarti menawarkan barang dagangan berupa dua jantan ayam kampung siap potong. Tak jarang Kami membeli ayam dagangan Mbah Sarti, terakhir kami membeli tiga ekor untuk di bakar. Maksud niat untuk syukuran senior Kami yang mendapat gelar sarjana peternakan, dan bersiap menjadi pegawai administrasi bank terkemuka bulan depan.

Aslinya tidak ada kelas sore ini dan Kami pun bisa bersantai membaca jurnal peternakan terbaru atau menulis untuk diterbitkan di bulletin kampus . Bisa juga menikmati film bajakan terbaru seperti anak kost yang lain. Sayangnya hal tersebut tidak bisa dilakukan sore ini. Tidak lain adanya kelas sore ini karena dosen yang bersangkutan seenaknya merubah jadwal kuliah. Dan seperti biasanya, selalu mendadak dan berpihak pada arogansinya sendiri.

Di jalan menuju kampus, seperti biasa Kami berpapasan dengan mahasiswi kampus sebelah yang selalu bersolek gincu dan bedak. Tak jarang  juga, Kami bertemu dengan Mereka yang “berlebihan”-muka putih, leher legam-, berseliweran dengan motor matic buatan Jepang. Hari itu juga, ada yang mengibaskan pandang manis, ke arah Ku seorang –perempuan itu lagi-. Sontak badan ini heran untuk kesekian kalinya, tangan tergerak dan kemudian melambai  pandangan itu. Hingga hilang ditelan cepatnya gerak motor. Dan seingatku, ini papasan kami yang ke sepuluh kalinya. Bedanya, kali ini dia dibonceng oleh pria lain.

Seketika, Hariri yang berdampingan dengan Ku pun menajam pandang dengan kedua bola matanya. Lalu menepuk pundak dan berseloroh mengomentari ciptaan Tuhan yang indah itu.

“Hei, pasti Kau mikir gak bener nih. Tengok boncengan orang lain. Maka dari itu, cepat-cepat sana cari pacar, biar itu mata tidak melulu ngluarin air liur.”

“Tenang Har. Lima tahun dari sekarang. Aku akan  punya istri yang cantik. Tercantik di Indonesia dari yang pernah ada. Model bak terkena Anoreksia di peragaan busana itu bakal lewat.”

“Mau dikasih mas kawin sapi dan kerbau ?. Apa mau dikasih mas kawin ayam ?”, tergambar dari perangai Hariri yang menantang.

“Pastinya. Sapi dan kerbau bertahtakan emas dan permata. Kotoranya pun bisa mengeluarkan  koin rupiah. Ayam dengan kokok merdu dan berdaging berlian”, dengan sombong semangat ku ucapkan.

“Khayal !. Memang ada yang seperti itu di negeri ini ?”, bertanya lagi Hariri dengan tak percaya.

“Ada banyak Har. Sapi dan kerbau lokal kita aja lebih dari jari jumlah jari tangan ini. Itu baru sapi, belum ayam dan itik. Dengan sumber daya alam kita tidak terbantahkan lagi. Ditambah akademisi bertebaran di penjuru negeri. Hewan ternak pun bisa digubah menjadi perhiasan mewah.”

“Lalu bagaimana dengan nasihat bang Ginanjar ?”.

“Kunci nya tetap pada apa yang dibilang Bang Ginanjar. Berdaulat di negeri sendiri. Kalau kita gak pintar dan bisa membuat orang lain juga punya uang. Kita gak ada bedanya sama mereka yang gak berpendidikan. Bukankah Kita dikuliahkan dan dididik agar bisa berguna sebanyak-banyaknya ?”

“Benar Cil. Bang Siregar juga bilang begitu. Terus menurut mu apa daya yang membuat peternakan kita ini tidak maju ?”

“Bukanya tidak maju, tapi belum. Tugas mahasiswa peternakan yang harus memajukan. Dan kini juga sudah ada yang maju. Jikalau kata birokrat di televisi, industri perunggasan kita sudah maju.”

“Industri perunggasan ?. Tidak salah ucap Kamu Cil. Jelas kelihatan kalau kita saja masih mengandalkan pakan ternak yang berasal dari perusahaan luar negeri. Berawal dengan investasi, alih-alih untuk menggarap dan memajukan industri dalam negeri. Mereka berjaya di negeri orang lain, kita merana di tanah sendiri. Kalimat “pasar yang potensial” sebagai awalanya.”, dengan nada yang sedikit kesal Hariri berucap.

“Maka dari itu Har. Jangan sampai kita berdua yang kerap kali tertulis di brosur universitas di sebut “selamat datang harapan bangsa”. Bukan justru menjadi pecundang seperti yang tadi Kamu ucapkan.”, menghadap ke arah pandang Hariri dengan nada dakwah.

“Semoga saja.”, dengan raut wajah yang pesimistis. 

****

“Jikalau kalian dari awal tidak pernah mau masuk bidang ini. Kenapa kalian mau repot-repot datang ke ke kampus ini ! ”, kalimat pertama yang keluar dari mulut Bang Siregar sedetik setelah ia meninju muka Kami berdua..

“Lebih baik kalian keluar sekarang, daripada hanya ingin main-main, pacaran, lalu dapat ijazah peternakan tanpa mau mengerti sejumput pun ilmu yang sudah diberikan kepada kalian. Sia-sia saja orang tua kalian mencari nafkah agar kalian bisa kuliah seperti mereka yang lainya.”

Sembari Aku dan Hariri menelan kalimat Bang Siregar. Sesekali Aku mengamati senior Kami yang berdiri di depan pintu mengawasi hingga ke jarak pandang bak memiliki mata elang. Takut-takut akan ada dosen yang lewat. Dan Bang Siregar masih saja menasihati kami dengan logat Batak yang khas. Ia berperan sebagai jaksa penuntut dan hakim layaknya pengadilan koruptor yang seru dengan aliran dana ke wanita cantik. Dengan tiga penonton, yang satu senior kami berdiri di depan pintu. Sisanya adalah Kami yang menatap jijik perilaku Kami berdua yang takut membalas perlakuan Bang Siregar.

“Kalian pernah memikirkan tidak ?. Percaya pada ucapan Siregar. Dia yang setengah-setengah tidak akan berhasil. Lebih baik kalian menganggur dulu setahun, lalu ikut tes lagi sesuai dengan minat kalian. Toh itu kan yang kalian inginkan. Tidak berniat masuk peternakan”, penonton yang masih saja memandang jauh ke luar itu kini mengeluarkan suaranya. Belum lama ia berbicara, kini ia berbicara lagi :

“Tidak ada seseorang yang bisa sukses jikalau menyelam setengah-setengah. Apalagi kalian yang sudah mencibir ranah ini padahal diri kalian pun baru melongok dari atas perahu, dari permukaan. Ibaratkan, kalian kini sedang dalam tahap tenggelam dalam kubangan kandang. Bagi mereka yang tenang, tidak akan mati tenggelam. Justru kubangan itu sendiri yang akan menjadi ladang”, jelas Ia mengucapkan. Belakangan kami ketahui namanya adalah Ginanjar. Ketua Mahasiswa Peternakan se Indonesia

****

Sesampainya di kampus, Kami berdua singgah sejenak di beranda organisasi pers kampus. Mengeluarkan hasil tulisan Kami. Isinya tentang program pemerintah akan swasembada yang selalu pupus. Beberapa menit hasil tulisan Kami di baca. Kami langsung diberitahu bahwa tulisan Kami akan diterbitkan besok. Dengan segera, kami meninggalkan mahasiswi cantik itu tanpa tahu namanya.

Mendaki anak tangga yang menuju ke lantai tiga tempat kelas kami berada. Hariri menunjuk ke arah ruangan dimana Kami berdua pertama kali bertemu dengan dua mahasiswa senior yang kini menjadi saingan terberat untuk di salip. Tepat seminggu saat Kami pertama kali masuk Bang Siregar rumah sakit karena kecelakaan. Truk yang ia kendarai oleng lepas kendali ketika melewati jalan terjal. Untungnya ternak sapi yang ia bawa tidak mengalami cedera sehingga masih bisa dijual. Ia membangun usaha ternak sapi sedari SMA, semuanya dilakukan sendiri. Itu mungkin salah satu sebab kenapa Ia belum lulus ditahun ke limanya duduk dibangku kuliah. Karena baginya, bukan lulus  dengan waktu yang cepat, tapi lulus diwaktu yang tepat.

Sementara itu Bang Ginanjar yang lebih muda tiga tahun darinya, tetap semangat bersama para peternak kecil yang terus tergerus oleh praktek monopoli para pemodal besar. Karena baginya, berguna bagi orang lain adalah hal yang sebaik-baiknya.Ia tidak ingin saudara se tanah sekelahiran harus tunduk pada kepentingan asing. Ia kerap kali bertutur, lebih baik tenggelam dalam kubangan kandang, dari pada harus memakai dasi dengan mobil mewah namun saat berkaca yang tampil adalah wajah tikus. -Tamat-

                                                                                         oleh : Iqbal MMun Prawiro
---------
*Cerpen pernah diikutkan lomba antologi sastra "Jadi Mahasiswa Peternakan"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari saling bercakap tentang rutinitas semesta milik kita