Kota kecil –yang menurut ku- di
tengah Jawa ini memang menyimpan pelbagai alur cerita. Bukan mitos-mitos
murahan dan legenda asal jadi. Terselip juga skenario Tuhan yang acap kali
membingungkan. Paling tidak begitulah yang nampak telanjang di satu pandang
wilayah. Yang bisa saja lebih kejam dari kisah cinta dalam sinetron
murahan-saban hari- ada di frekuensi publik.
****
Sembari menunggu Hariri merias diri.
Terlihat dari pagar rumah kos, Mbah Sarti sibuk berkomat kamit kehadapan barang
daganganya. Cucu nya yang belum berlumur dosa, Aminah tergendong kain batik
lusuh bergelayut di dada Mbah Sarti yang tipis. Sesekali menyeka keringat
cucunya yang terlelap. Mbah Sarti menawarkan barang dagangan berupa dua jantan
ayam kampung siap potong. Tak jarang Kami membeli ayam dagangan Mbah Sarti,
terakhir kami membeli tiga ekor untuk di bakar. Maksud niat untuk syukuran
senior Kami yang mendapat gelar sarjana peternakan, dan bersiap menjadi pegawai
administrasi bank terkemuka bulan depan.
Aslinya tidak ada kelas sore ini dan
Kami pun bisa bersantai membaca jurnal peternakan terbaru atau menulis untuk
diterbitkan di bulletin kampus . Bisa juga menikmati film bajakan terbaru
seperti anak kost yang lain. Sayangnya hal tersebut tidak bisa dilakukan sore
ini. Tidak lain adanya kelas sore ini karena dosen yang bersangkutan seenaknya
merubah jadwal kuliah. Dan seperti biasanya, selalu mendadak dan berpihak pada
arogansinya sendiri.
Di jalan menuju kampus, seperti
biasa Kami berpapasan dengan mahasiswi kampus sebelah yang selalu bersolek
gincu dan bedak. Tak jarang juga, Kami
bertemu dengan Mereka yang “berlebihan”-muka putih, leher legam-, berseliweran
dengan motor matic buatan Jepang. Hari itu juga, ada yang mengibaskan pandang
manis, ke arah Ku seorang –perempuan itu lagi-. Sontak badan ini heran untuk
kesekian kalinya, tangan tergerak dan kemudian melambai pandangan itu. Hingga hilang ditelan cepatnya
gerak motor. Dan seingatku, ini papasan kami yang ke sepuluh kalinya. Bedanya,
kali ini dia dibonceng oleh pria lain.
Seketika, Hariri yang berdampingan
dengan Ku pun menajam pandang dengan kedua bola matanya. Lalu menepuk pundak
dan berseloroh mengomentari ciptaan Tuhan yang indah itu.
“Hei, pasti Kau mikir
gak bener nih. Tengok boncengan orang lain. Maka dari itu, cepat-cepat sana
cari pacar, biar itu mata tidak melulu ngluarin air liur.”
“Tenang Har. Lima
tahun dari sekarang. Aku akan punya
istri yang cantik. Tercantik di Indonesia dari yang pernah ada. Model bak
terkena Anoreksia di peragaan busana itu bakal lewat.”
“Mau dikasih mas
kawin sapi dan kerbau ?. Apa mau dikasih mas kawin ayam ?”, tergambar dari
perangai Hariri yang menantang.
“Pastinya. Sapi dan
kerbau bertahtakan emas dan permata. Kotoranya pun bisa mengeluarkan koin rupiah. Ayam dengan kokok merdu dan
berdaging berlian”, dengan sombong semangat ku ucapkan.
“Khayal !. Memang ada
yang seperti itu di negeri ini ?”, bertanya lagi Hariri dengan tak percaya.
“Ada banyak Har. Sapi
dan kerbau lokal kita aja lebih dari jari jumlah jari tangan ini. Itu baru
sapi, belum ayam dan itik. Dengan sumber daya alam kita tidak terbantahkan
lagi. Ditambah akademisi bertebaran di penjuru negeri. Hewan ternak pun bisa
digubah menjadi perhiasan mewah.”
“Lalu bagaimana
dengan nasihat bang Ginanjar ?”.
“Kunci nya tetap pada
apa yang dibilang Bang Ginanjar. Berdaulat di negeri sendiri. Kalau kita gak
pintar dan bisa membuat orang lain juga punya uang. Kita gak ada bedanya sama mereka
yang gak berpendidikan. Bukankah Kita dikuliahkan dan dididik agar bisa berguna
sebanyak-banyaknya ?”
“Benar Cil. Bang
Siregar juga bilang begitu. Terus menurut mu apa daya yang membuat peternakan
kita ini tidak maju ?”
“Bukanya tidak maju,
tapi belum. Tugas mahasiswa peternakan yang harus memajukan. Dan kini juga
sudah ada yang maju. Jikalau kata birokrat di televisi, industri perunggasan
kita sudah maju.”
“Industri perunggasan
?. Tidak salah ucap Kamu Cil. Jelas kelihatan kalau kita saja masih mengandalkan
pakan ternak yang berasal dari perusahaan luar negeri. Berawal dengan
investasi, alih-alih untuk menggarap dan memajukan industri dalam negeri.
Mereka berjaya di negeri orang lain, kita merana di tanah sendiri. Kalimat
“pasar yang potensial” sebagai awalanya.”, dengan nada yang sedikit kesal
Hariri berucap.
“Maka dari itu Har.
Jangan sampai kita berdua yang kerap kali tertulis di brosur universitas di
sebut “selamat datang harapan bangsa”. Bukan justru menjadi pecundang seperti
yang tadi Kamu ucapkan.”, menghadap ke arah pandang Hariri dengan nada dakwah.
“Semoga saja.”,
dengan raut wajah yang pesimistis.
****
“Jikalau kalian dari
awal tidak pernah mau masuk bidang ini. Kenapa kalian mau repot-repot datang ke
ke kampus ini ! ”, kalimat pertama yang keluar dari mulut Bang Siregar sedetik
setelah ia meninju muka Kami berdua..
“Lebih baik kalian
keluar sekarang, daripada hanya ingin main-main, pacaran, lalu dapat ijazah
peternakan tanpa mau mengerti sejumput pun ilmu yang sudah diberikan kepada
kalian. Sia-sia saja orang tua kalian mencari nafkah agar kalian bisa kuliah
seperti mereka yang lainya.”
Sembari Aku dan Hariri menelan
kalimat Bang Siregar. Sesekali Aku mengamati senior Kami yang berdiri di depan
pintu mengawasi hingga ke jarak pandang bak memiliki mata elang. Takut-takut
akan ada dosen yang lewat. Dan Bang Siregar masih saja menasihati kami dengan
logat Batak yang khas. Ia berperan sebagai jaksa penuntut dan hakim layaknya
pengadilan koruptor yang seru dengan aliran dana ke wanita cantik. Dengan tiga
penonton, yang satu senior kami berdiri di depan pintu. Sisanya adalah Kami
yang menatap jijik perilaku Kami berdua yang takut membalas perlakuan Bang
Siregar.
“Kalian pernah
memikirkan tidak ?. Percaya pada ucapan Siregar. Dia yang setengah-setengah
tidak akan berhasil. Lebih baik kalian menganggur dulu setahun, lalu ikut tes
lagi sesuai dengan minat kalian. Toh itu kan yang kalian inginkan. Tidak
berniat masuk peternakan”, penonton yang masih saja memandang jauh ke luar itu
kini mengeluarkan suaranya. Belum lama ia berbicara, kini ia berbicara lagi :
“Tidak ada seseorang
yang bisa sukses jikalau menyelam setengah-setengah. Apalagi kalian yang sudah
mencibir ranah ini padahal diri kalian pun baru melongok dari atas perahu, dari
permukaan. Ibaratkan, kalian kini sedang dalam tahap tenggelam dalam kubangan
kandang. Bagi mereka yang tenang, tidak akan mati tenggelam. Justru kubangan
itu sendiri yang akan menjadi ladang”, jelas Ia mengucapkan. Belakangan kami
ketahui namanya adalah Ginanjar. Ketua Mahasiswa Peternakan se Indonesia
****
Sesampainya di kampus, Kami berdua
singgah sejenak di beranda organisasi pers kampus. Mengeluarkan hasil tulisan
Kami. Isinya tentang program pemerintah akan swasembada yang selalu pupus.
Beberapa menit hasil tulisan Kami di baca. Kami langsung diberitahu bahwa
tulisan Kami akan diterbitkan besok. Dengan segera, kami meninggalkan mahasiswi
cantik itu tanpa tahu namanya.
Mendaki
anak tangga yang menuju ke lantai tiga tempat kelas kami berada. Hariri
menunjuk ke arah ruangan dimana Kami berdua pertama kali bertemu dengan dua
mahasiswa senior yang kini menjadi saingan terberat untuk di salip. Tepat
seminggu saat Kami pertama kali masuk Bang Siregar rumah sakit karena
kecelakaan. Truk yang ia kendarai oleng lepas kendali ketika melewati jalan
terjal. Untungnya ternak sapi yang ia bawa tidak mengalami cedera sehingga
masih bisa dijual. Ia membangun usaha ternak sapi sedari SMA, semuanya
dilakukan sendiri. Itu mungkin salah satu sebab kenapa Ia belum lulus ditahun
ke limanya duduk dibangku kuliah. Karena baginya, bukan lulus dengan waktu yang cepat, tapi lulus diwaktu
yang tepat.
Sementara itu Bang Ginanjar yang
lebih muda tiga tahun darinya, tetap semangat bersama para peternak kecil yang
terus tergerus oleh praktek monopoli para pemodal besar. Karena baginya,
berguna bagi orang lain adalah hal yang sebaik-baiknya.Ia tidak ingin saudara
se tanah sekelahiran harus tunduk pada kepentingan asing. Ia kerap kali
bertutur, lebih baik tenggelam dalam kubangan kandang, dari pada harus memakai
dasi dengan mobil mewah namun saat berkaca yang tampil adalah wajah tikus. -Tamat-
oleh : Iqbal MMun Prawiro
---------
*Cerpen pernah diikutkan lomba antologi sastra "Jadi Mahasiswa Peternakan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari saling bercakap tentang rutinitas semesta milik kita