Minggu, 01 Mei 2016

Matinya Candu



Aspal-aspal jalan terkuliti oleh hujan dan tangisan
Kelam dan biru wajahnya
Hujan membawa pulang kekejaman manusia
Kembali ke perut bumi

Berharap tak mekar lagi
Tak tumbuh lagi
Tak berbuah lagi

Jalanan basah oleh sumpah serapah
Janji terkurung jeruji kemilau duniawi
Rindu ditelan malam tanpa mimpi
Menjadi mati suri
Entah kapan bangkit dari telaga kesunyian
Karena yang hidup pun demikian penuh kegelapan

Aliran darah tersumbat kekecewaan
Tak mengalir lagi nafasnya
Jantung tak bekerja
Otak binasa
Kesadaran tertikam 
Kematian menjelang
Jarum Suntik melayang-layang
Menari dan terbang
Membawa mayat-mayat tenggelam

Ia hilang
Ia terlupakan
Sempurnalah kematian seorang pencandu
Tak tahu apa yang amat ia begitu mau
Karena hidup lelah memberinya waktu
Hingga akhirnya
Terbujur kaku
.
.
.
Sokaraja ;
24 April 2016
Nb : malam-malam hujan

Masa Lalu Kawanku


Aku dan kekasihku sang putri malam
Tersedu melihat masa lalu kawanku

Dirinya mengaku sebagai pelarian penjara
Dari rindu yang meninggalkan ranumnya cinta

Tepat di atas langit-langit kamar
Tak pernah pergi
Enggan menjauhi diri

Empat tahun berlalu dan rindu masih saja menggebu
Senapas seirama sebelumnya
Suka dan duka jadi selimut berdua
Kemudian sang perempuan hilang ditelan gusar

Dan sialnya, meski sang perempuan telah tinggal di genggaman jemari lain
Bayangnya masih saja ada
Tak terhapus oleh debu-debu waktu

Kawanku lalu bertanya kepada putri malam disampingku ;
"Kemana aku harus meminjam belati ?. Untuk
menghunus rindu ini agar ia mati dan terkubur tak bangkit lagi"

Sang putri malam menjawab ; 
"Kau tak bisa bunuh rindu. Ia tumbuh oleh waktu yang lalu, yang pernah kau berikan sebagai kado terindah dalam hidupnya. Relakan rindu mencabikmu, ia akan membuatmu semakin tegar."

Kawanku berbalik ;
"Lantas bagaimana lagi aku harus hidup jikalau cabikan itu membuat ku serasa tak punya nyawa lagi ?."

Aku menyela ;
"Temukan rindumu yang lain. Seperti rindu yg kini bergelantung dihadapanmu. Langit perlahan akan menjadikan kalian sahabat erat di perjalanan hari esok. Rindumu yang baru, biarkan temukan jalanya masuk kedalam mimpi disetiap malam. Malam milikmu"
.
.
.
Bangku sekre
18 April 2016

Makan siang




Berselimut macam-macam rempah.
Kuah nan merona
merayu lidah.

Gurih nan ayu menunggu dimadu. Manis dan harum berpadu syahdu meramu nafsu. Restoran dipenuhi gelora asmara. Hidangan tersaji bersama lilin yang menari. Serupa sesajen bagi ruh leluhur dan para dewa-dewi.

Tak sabar tangan bergerayang dan meliuk melintasi meja makan.
Memuaskan lapar dan kecewa karena cinta. 

Siang terik menambah panas suasana.
Angin tak bertiup.
Lelaki tua terduduk meringkuk,
di beranda restoran milik paman Jawa.

Santapan telah habis
Pundi-pundi berayun pindah tuan
Tertawa dan bangga membayar semuanya ;
Katanya syukuran kerja

Lalu mereka pergi kepada kuda pribadi
Melangkahi mayat lelaki tua tanpa busana
.
.
.
Sokaraja ;
25 April 
Nb : di seberang pelataran  rumah padang

Hujan akhir april


 



Didepanku bangku kosong terbujur kaku dan kuyu
Disampingku dua perempuan muda bersenda gurau tentang hidupnya yang sederhana.
Sementara aku terdiam tak tahu harus apa ; Lantas kupilih pandangi saja wajah hujan di depan langit mataku

Ia datang membawa aroma bulan Mei
Ia pun memikul akhir angin muson timur

Aku memandang malu hujan akhir april
Ia tak sekedar air  membentuk cermin diatas bumi
Ia tak sekedar jatuh tanpa membawa berkah
Ia hadir dengan kesungguhan menyirami kerontang sawah
Bersama kilau cepat cahaya
Sesekali hadir menyapa telinga

Dan seperti hujan-hujan sebelumnya
Pun hujan ini belum berubah wujudnya

Ia jujur
Ia ikhlas
Ia tak jumawa membawa remah-remah surgawi bagi seisi gersang bumi

Ia masih sama....
Ia tak membawa duka...
Aku yang berduka
Manusia yang membuat duka
.
.
Depan sekre
27 April 2016
Nb : menikmati hujan 





Dan Hujan Datang



Dan hujan datang tepat waktu
Menjelang senja tanpa dosa 

Dan hujan datang membasahi genting perapian
Memendam rindu, tak jua bertemu

Dan hujan datang mengucurkan tetes keresahan
Menoleh ke belakang tempat sukma bersandar


Dan hujan tidak pernah ingkar ;
Begitupun Ia telah memadamkan asap
menceraikan debu
mengetuk talang-talang kosong
hingga tiba ke gersangnya bumi.

Hujan tetap penuhi janjinya kepadaku ;
Ia datang dan berpesan :
"Kau dan sang waktu, tak boleh berkelahi. 
Tentang tempat dan kapan sepakatnya diberi restu bertemu kembali"

Dan aku membayang ;
Saat hujan datang
atau saat hujan menghilang
berganti pelangi
di layar petang menjelang malam
.
.
Sokaraja
24 April 2016


Sedalam-dalamnya

Nadya,
Manusia amatlah penuh rupa
Satu agaknya sama, ingin peluk bahagia sederhana
Bersama mereka yang dicinta, saling bertukar doa
Merapal mantra eloknya masa tua

Ditebak akan jauh
Mereka pun menghitung demikian
Entah dimana ia akan berlabuh

Sampai pada suatu ketika di desa seberang
Dalam mata yang teduh, dalam  rima cerita
jujur menyapa
Dalam merekahnya senyum, dalam cemberut
merangkai gelak tawa

Sedalam-dalamnya dari dirimu
Sedalam-dalamnya waktu yang berlalu
Lekas raih impianmu
Bagimu, bagi keluargamu, bagi semesta manusia

Nadya,
Bila nanti wujudnya hilang
Ingatlah ia dalam sajak ini.
Sedalam-dalamnya rasa terimakasih
atas kesedianmu duduk disampingnya.


 


Purwokerto,
12 Oktober 2016


*Gambar dari forums.crackberry.com