Minggu, 28 Agustus 2016

Akankah Aku


Akankah aku mampu seperti gunung ?
Melintasi samudera kasih 
tanpa ujung

Sampai suatu ketika
Malaikat bersedia menerimaku,
tiba di sendu matanya

Laut begitu jernih memberi arti
Dan bila aku burung
Rela diri ini mengitarinya sepenuh hati
Sampai suatu ketika
Malikat sudi memanggilku :
"Kemarilah kekasihku"

Matahari terlelap
Menampilkan panggung pesona senja
Berganti bulan putih batu pualam

Dan andai aku burung
Terbanglah diriku menuju
Peraduan cinta diantara
Matahari dan bulan
Disela senja berganti malam
Sampai tiba suatu ketika 
Malaikat datang membawa pesan Tuhan 
dan berkata :
"Pulanglah nak, aku akan menyambutmu"
.
.
Sokaraja

Februari 2016

-------
Semoga puisi ini mampu menyuguhkan makna, 
apapun wujudnya, bagaimanapun ceritanya
Maturnuwun..

* Gambar diambil dari liputan6.com

Potongan Kata #8


"Umur enam bulan anakku lahir. Dia manis sekali. Aku ada mendengar tangisnya. Kemudian dia diminta oleh Tuhan.", papar adik ku.
.
Sekali lagi aku menangis. Sekali lagi dia menangis. Aku tak mendengar apa-apa sekarang selain badai yang menderu-deru dalam dadaku sendiri. Dan yang tertampak hanya tubuh kurus, selimut kain sepotong. Kasur cuma separuh saja menutupi ranjang, dan besi-besi serta palang-palang bambu disamping kasur itu mencongak-congak.
.
.
.
-Adik si tokoh Aku-
Kutipan Roman "Bukan Pasar Malam" ||
Pramoedya Ananta Toer



Potongan Kata #7



Hidup di zaman edan
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
jika tidak turut
batin meraba dan penasaran
tertindas dan kelaparan
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apapun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yg menjaga kesadaran
.
.
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
dalam buku Zaman Edan terbitan Forum
Penyair Jawa
.

Jumat, 26 Agustus 2016

Jembatan dan Sungai


Bersahajalah adikku
Seperti sungai ini
Lancar berirama membelah kota
Tanpa pamrih dan pongah kata

Jembatan ini memang telah memisahkan
tapi kelak mempersatukan
Seperti pada masa lalu
saat aku dan kau bersepeda seharian
melintasi sungai bersahaja ini
lalu tiba nanti bersandaran
di pojok gedung tua berdua

Mereka bagai serdadu kekar
Melintasi waktu
Saat bom waktu dan senapan berterbangan
Menakuti kota dan anak-anaknya

Kau pernah bilang kepadaku
"Bersabarlah kakak, seperti bangunan
tua di belakang kita ini"

Tetap tegar
melewati zaman
hingga tiba hari 
dan esok kemudian
saat pertemuan kita nanti
saat salju menutupi senja
menghalang jingga merona

Pertemuan kita nanti
di tepi sungai yang bersahaja 
di atas jembatan berdua
.
.
Sokaraja

Februari 2016


-----------
Semoga puisi ini mampu menyuguhkan makna, 
apapun wujudnya, bagaimanapun ceritanya
Maturnuwun..

* Gambar diambil dari cdn.rimanews.com

Potongan Kata #6


"Apakah nanti tidak akan dikatakan skripsi saya mirip slogan sosial ?. Bahkan politik ?"
.
"Mungkin ya. Tetapi saya bilang jalan terus. Saya akan membelamu sekuat tenaga karena saya senang akan semangat yang ada di otakmu. Keterpihakanmu kepada masyarakat penyadap, saya kira, merupakan manifestasi perasaan utang budi dan terimakasihmu kepada mereka yang telah sekian lama memberikan subsidi kepadamu. Ini bukan sebuah dosa ilmiah. 
Jat, kamu tahu, sudah terlalu banyak kaum sarjana seperti kita yang telah kehilangan rasa terimakasih kepada "ibu" yang membesarkan kita. Mungkin karena, ya itu, mereka seperti kamu, takut dibilang sok moralis. Mereka lebih suka memilih hanyut dalam arus kecenderungan pragmatis. Agaknya mereka lupa bahwa dari segi-segi tertentu pragmatisme menjadi benar-benat muncul. Jadi mereka jadi amoral karena takut dibilang moralis."
.
.
.
-Pak Jirem, dosen pembimbing skripsi Kanjat ; 
dalam buku Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari

Potongan Kata #5


Mungkin engkau adalah priyayi modern yang makin pintar menenggelamkan tetanggamu berkat meningkatnya kemampuanmu merumuskan. Mungkin engkau adalah pemikir yang berkecipak-cipuk dengan merumuskan sajam.
-
 Mungkin engkau sekedad satu dari setumpukan ikan yang menggelepar-gelepar dalam jalan. Mungkin engkau perumus yang baik, tetapi tak kenal, hingga engkau tenggelam.
-
Mungkin engkau pencipta cita-cita perubahan, bahkan pekerja perubahan, tapi engkau tidak kebal hingga engkau menjadi lintah di tubuh nasib orang yang engkau ubah. Setidaknya engkau meminum sumbangan darah yang dijatagkan buat infus nasib darurat bejuta saudaramu.
-
Pak Guru Danar dan Pak Guru Amrul bersepakat dalam satu hal ; kekebalan, misalnya, tidak minum air di gelas yang secara struktural merupakan hak orang lain yang tidak kita kenali namanya []
.
.
.
Petikan Kolom 'Empat Kapasitas'
"Kolom Slilit Sang Kiai" oleh Emha Ainun Nadjib
.

Potongan Kata #4



Kemudian dibawanya anak kecil itu ke runah yang terdekat letaknya dari kuburan. Tidak lama kemudian datanglah beberapa orang mengambil mayat itu untuk disucikan.
.
"Semua manusia bersaudara satu sama lain, " pikirnya setelah kuburan itu sunyi-senyap kembali.
.
"Karena itu tiap orang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan," pikirnya terus, " karena itu satu sama lain adalah saudara."
.
.
-Wedawati, Anak Mpu Barada 
dalam Dongeng Cerita Calon Arang - 
Gubahan Cerita oleh Pramoedya Ananta Toer

MENGULAS BUKU - Perempuan Bernama Arjuna - Remy Sylado

.

Judul : Perempuan Bernama Arjuna ; Filsafat dalam Fiksi
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Nuansa Cendekia
.
.
        “Namun, dari kata-kata yang tidak saya mengerti keluar dari mulut manusia, saya yakin adanya makna di dalamnya, dan dengan begitu saya terus belajar lebih dalam, memahami apa hubungan bahasa dengan filsafat yang selama itu sudah saya pelajari,” (Hal 11)

         Sebuah novel dengan stempel cover  ‘bukan bacaan ringan’ telah nampak  menjelaskan dirinya sejak dari halaman pertama. Menceritakan seorang mahasiswi asal Indonesia dengan latar belakang kebhinekaan-ayah Tionghoa, ibu Jawa-menjalani studi filsafat di Belanda. Membawa pembaca masuk menelusuri jejak-jejak pemikiran para filsuf dari era Yunani kuno, awal dan setelah tarikh masehi, hingga sampai pada abad 20.
.
         Setiap dari mereka, oleh Arjuna- si mahasiswi, tokoh utama-beserta teman-teman satu kelas dan dosen. Dikenalkan karya-karya besarnya, latarbelakang pemikiran, sampai kehidupan pribadi beberapa filsuf. Tidak berlebihan kiranya, jika buku ini  mendapat label ‘pengantar ilmu filsafat bagi awam’. Oleh karenanya, bagi pembaca-anak muda khususnya-jangan dulu ambil pusing. Seperti halnya karya fiksi, pun buku ini demikian.
.
         Penulis, seorang seniman tulen, dikenal luas oleh khalayak, Remy Sylado-nama asli Yapi Tambayong- menyelipkan beragam bahasa khas-etnik dan negara lain, menjadikan buku begitu segar. Diskusi tentang Tuhan, perdebatan arif cendekia, multi budaya, romantisme, dan seks digodok oleh penulis lewat ciamiknya penuturan kata-kalimat-tulisan sebuah cerita menjadi berwarna-warni. Selamat membaca karya fiksi bermutu.
.

        “Menerangkan cinta dalam pengetahuan apologia agaknya bisa di bilang jelimet, sebab ini terlalu muluk untuk disebut makrifat, tapi juga terlalu sepele untuk disebut rasam. Padahal cinta itu suatu keindahan yang tiada terperi. Tidak ada persamaan arti, baik dalam nomina, adjektiva, maupun adverbia, yang melebihi keindahan cinta-karenanya harus diucapkan dengan tulus, dengan jujur, dengan bebas, lewat jalinan subjek-predikat-objek. Bahwa dalam “aku cinta kau” niscaya ada “kau cinta aku”. (Hal 206)
.
.

Kamis, 11 Agustus 2016

MENGULAS BUKU - Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir

.
Buku : Saya Ingin Lihat Ini Semua Berakhir : 
          Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer
Penulis : August Han den Boef dan Kees Snoek
Penerbit : Komunitas Bambu
.
.
“Perkembangan yang ideal hanya akan tercapai melalui demokrasi. Tak ada jalan lain daripada memungkinkan setiap manusia untuk menggunakan hak-hak nya” [Hal-173]
.

Bagi mereka para pengaggum karya roman Indonesia tentunya telah kenal oleh Pramoedya Ananta Toer-Pram. Sastrawan besar Indonesia yang banyak dari karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Tak heran bila namanya berulang kali disebut pantas untuk mendapatkan Nobel Sastra. Setelah orde baru tumbang, karya-karya epik, kuat, namun tidak menghilangkan unsur-unsur estetis sebuah sastra tulisan Pramoedya lebih “bebas” didistribusikan.
.
Buku ini, menjelaskan bagaimana seorang Pram terbentuk. Mulai dari masa-masa kecil, remaja, masa penahanan yang amat melelahkan hingga tiba di penghujung abad 20 beliau bisa nyaman menikmati hari-hari depanya. Ditulis oleh dua orang warga kenegaraan Belanda, akademisi di bidang sastra dan tentunya menaruh perhatian besar terhadap karya Pram. Tulisan dalam buku ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Belanda ditahun 1990-an masa dimana Pram terkena tahanan rumah oleh Orde Baru. Oleh komunitas bambu tahun 2008.
.
Bagian pertama buku ditulis oleh August den Boef, merupakan Esai tentang karya-karya Pram dari masa pertama ia meluncurkan bukunya. Analisis yang dituangkan,  lengkap dibumbui oleh latarbelakang kehidupan Pram dan sejarah Indonesia amat besar pengaruhya dalam cerita-cerita Pram. Bagian kedua ditulis Kees Snoek, hasil wawancara beliau dengan Pram tahun 1991. Pertanyaan yang dilontarkan, dijawab secara tegas dan tanpa kompromi oleh Pram. Bagaimana perjalanan hidupnya yang melelahkan-terlebih saat ia dipenjara dalam berbagai rezim. Juga perhatianya terhadap humanisme dan  Indonesia, negeri yang amat ia cintai, menggetarkan sekaligus mengharukan. Meski kini Pram telah tiada, karya-karyanya tetap hidup, selamat membaca.
.

“Saya berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani”[Hal 172]
.
.
Mari membaca, selamat membaca !

MENGULAS BUKU - Senyum Karyamin - Ahmad Tohari


.
Buku : Senyum Karyamin ; Kumpulan Cerpen
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
.
.
“Priyayi zaman dulu kan bekerja dan mengabdi kepada kaum penjajah, bukan bekerja dan mengabdi kepada kaum  kawula seperti kita ini. Mereka bersikap ningrat, maunya dilayani. Mereka menjunjung atasan dan tak mau mengerti tangise wong cilik ” (Hal 41 ; Syukuran Sutabawor).
.
Kumpulan cerita pendek karya Ahmad Tohari ini pertama kali diterbitkan tahun 1989. Ditulis antara tahun 1976 hingga 1986, mengisahkan kehidupan masyarakat desa beserta rutinitas keseharianya. Kisah alami manusia khas pedesaan yang selalu menjadi menarik ketika Ahmad Tohari angkat kepada pembaca. Latar bumi desa begitu elok dilukiskan oleh penulis. Hal yang mungkin selalu dirindukan para pengembara desa yang menetap di kota-kota besar.
.
Kisah wong cilik-menjadi sentral-luput dari pengamatan kita, dengan cerdas dibawakan. Menyoal tutur penulisan, Sapardi D. Damono, dalam kata penutupnya menyampaikan bahwa “Tohari banyak mendongeng ; begitulah cara terbaiknya.” Dengan begitu, pembaca diajak untuk menelaah sendiri kedalaman cerita sederhana para tokoh-tokoh dalam alur yang mengalir.
.
Menjadi penting karya Ahmad Tohari bisa selalu tampil di publik agar pembaca kembali mengenal Indonesia yang begitu sederhana. Tokoh-tokoh rekaan dalam kumcer ini, menunjukan demikian. Membawa kita untuk masuk kedalam wajah Indonesia yang bukan kota, wajah yang sebenar-benarnya. Agaknya, perlu kita cermati, tema-tema lokalitas macam Ahmad Tohari mulai “langka”.
.
.
Mari membaca, selamat membaca !













MENGULAS BUKU- 99 untuk Tuhanku- Emha Ainun Nadjib

.
Buku : 99 Untuk Tuhanku
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
.
.
“Tuhanku
sungguh ganjil
bagaimana bisa sekian lama
aku tergiur
oleh yang bukan Engkau
bagaimana bisa
aku tergoda
oleh yang seolah-olah saja ada.” (Ayat 29)
.
.
        Buku puisi ini diterbitkan pertama kali tahun 1980, saat usia Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) masih terbilang muda, 27 tahun. Kedalaman kata dan kepasrahan diri larut dalam kecintaan utuh terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian buku puisi ini membawa kita untuk terus merefleksikan dan memaknai hidup, sebagai sebuah proses nyata seutuhnya penghambaan kepada Tuhan.
.
      Cak Nun-setidaknya bagi saya-mengajak pembaca untuk berdoa bersama bait kata satu ke bait kata lainya, terbaris dalam buku ini. Sebagai pengantar buku, Cak Nun menulis ; “Ini “hanya” suatu sembahyang sederhana ; usaha untuk merebu diriku sendiri dari tengah cengkeraman kehidupan, kebudayaan, peradaban, politik, ekonomi, persaingan kalah-menang serta berbagai macam kecenderungan yang kulihat makin kurang memberikan dan mengarahkan dirinya kepada Allah.”
.
        Agaknya pembaca muda bisa sadari-begitupun saya-bahwa diusia semuda itu (27 tahun), tidak bermaksud melebihkan/mengurangi. Cak Nun telah menunjukan seorang muda pun telah mampu memaknai dirinya sendiri, yang begitu kecil diantara rupa semesta ciptaan Tuhan dalam sebuah karya. Hal demikian, amat patut dicontoh, setidaknya dalam berkarya tidak hanya bagi diri sendiri, juga bagi orang lain. Maka tidak salah jika penerbitan kembali buku ini diharapkan mampu “hadir” untuk kaum muda generasi sekarang. Sebuah karya yang “harus” dibaca. Semoga kita sependapat. Wassalam. 
.
.
Mari membaca, selamat membaca !

Minggu, 07 Agustus 2016

Patah

Kaleng rongsok menjadi saksi
jari-jari penyendiri
di bumi pertiwi.

Botol bekas menjadi benalu
tubuh langit si ibu
dan air mata mengucur membasahi baju

Bumi pertiwi patah 
bumi pertiwi tinggal tanah
air tlah dikuasai penjarah
anaknya diam sambil memakan darah

Mereka patah,
bumi patah.
.
.
Sokaraja
Agustus 2016

Potongan Kata #3


Kalau seorang direktur perusahaan tahu bahwa lima juta rupiah gajinya setiap bulan tidak seluruhnya merupakan hak miliknya, sehingga sebagian gaji itu diserahkan kepada kaum yang meng-hak-inya, pasti itu bukan jaminan bahwa kemiskinan akan lenyap dari muka bumi. Tetapi, dia dengan demikian telah menjalankan kerangka duniawi-ukhrawi-perniagaan dengan dan di dalam Allah.
.
Dia lebih tinggi dari tingkat "ana insan" (aku manusia) dan "ana abdullah"(aku hamba Allah) : dia Khalifatullah (bersikap demokratis terhadap seluruh anggota alam, seluruh hamba Allah ; sesama manusia, tanah tambang, kayu Kalimantan, orang utan, dll)
.
.
Kutipan Kolom 'Berniaga dengan dan dalam Allah'

MENGULAS BUKU - Doa Untuk Anak Cucu - WS Rendra

.
Judul : Doa Untuk Anak Cucu
Penulis : W.S. Rendra
Diterbitkan : PT. Bentang Pustaka
.
.
“Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu.
Agama adalah kemah para pengembara.
Menggema beragam doa dan puja.
Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.”
( Hal 3- Kutipan Puisi Gumamku, ya Allah)
.

W.S. Rendra, penyair organik milik Indonesia, telah melewati masa panjang dalam pergulatanya dengan dunia kesusasteraan tanah air. Mendayagunakan kata-kata untuk kemudian membahasakan seisi gejolak dan rutinitas manusia. Puisi ia bentuk tidak hanya berbicara soal keindahan , tapi lebih dari itu. Puisi dan sajak mampu meledak-ledak, berani dan berjuang, tercermin pada karyanya yang lahir saat era Orde Baru lalu.
.
Editor diawal mencatat bahwa terdapat 12 buku kumpulan puisi karangan W.S. Rendra selama ia masih hidup. Buku “doa untuk anak cucu” tidak termasuk kedalamnya karena terbit setelah beliau meninggal. Hingga akhir hayatnya seorang W.S. Rendra tetap menulis puisi, sebuah bentuk totalitas manusia dalam berkarya di sepanjang hidupnya.
Oleh karenanya, judul buku yang disematkan adalah amat tepat karena pun isinya amatlah menggugah jiwa kita. Sebuah pesan yang diharapkan seorang penulis kepada pembacanya, kepada masa-masa setelah ia tak ada.  Dilengkapi oleh catatan perjalanan pembuatan buku serta biografi seorang W.S Rendra yang ditulis editor. Semoga karya dan pemikiran W.S. Rendra tetap abadi. Lewat semua puisi yang ia tulis, W.S. Rendra tak segan-segan berucap bahwa “puisiku adalah sujudku”. 
 .
“Aku ingin kembali ke jalan alam.
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.
Tuhan, aku cinta pada-Mu”
(Hal 61-Kutipan Puisi Tuhan, Aku Cinta pada-Mu)
.
.
Mari membaca, selamat membaca !